Meditasi Perhatian Penuh Ubah Struktur Otak

ScienceDaily,
Massachusetts, Amerika Serikat – Berpartisipasi dalam sebuah program meditasi perhatian penuh (Pali: sati – red) selama 8 minggu nampaknya membuat perubahan terukur di dalam beberapa bagian otak yang berhubungan dengan ingatan (memori), rasa diri, empati dan stres. Dalam sebuah studi yang akan muncul di Psychiatry Research: Neuroimaging edisi 30 Januari, sebuah tim yang dipimpin oleh para peneliti dari Rumah Sakit Umum Massachusetts (MGH) melaporkan hasil dari penelitian mereka yang pertama untuk dokumentasi hasil meditasi terhadap perubahan dari waktu ke waktu pada materi abu-abu otak.

“Meskipun praktik meditasi diasosiasikan dengan rasa kedamaian dan relaksasi fisik, para praktisi telah lama mengklaim bahwa meditasi juga memberikan manfaat kognitif dan psikologis yang berlangsung sepanjang hari,” kata Sara Lazar Ph.D, dari MGH Psychiatric Neuroimaging Research Program, penulis senior dari penelitian tersebut.

“Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dalam stuktur otak dapat menjadi dasar beberapa kemajuan yang dilaporkan ini dan orang tidak hanya merasa lebih baik karena mereka meluangkan waktu untuk relaksasi.”

Penelitian sebelumnya dari grup Lazar dan yang lainnya menemukan perbedaan struktural antara otak para praktisi meditasi berpengalaman dengan para individu yang tidak memiliki riwayat meditasi, mengamati penebalan pada korteks otak besar di daerah yang berhubungan dengan integrasi perhatian dan emosi. Tetapi investigasi tersebut tidak bisa mendokumentasikan bahwa perbedaan tersebut sebenarnya dihasilkan oleh meditasi.

Untuk penelitian saat ini, pencitraan Resonansi Magnetik (MR) mengambil struktur otak dari 16 peserta penelitian selama dua minggu sebelum dan sesudah mereka mengambil bagian dalam Program Reduksi Stres Berbasis Perhatian Penuh (MBSR) di Pusat Kesadaran Penuh Universitas Massachusetts. Selain pertemuan mingguan yang termasuk praktik meditasi perhatian penuh yang berfokus pada kesadaran tanpa menilai pada sensasi-sensasi, perasaan, dan kondisi batin, para peserta menerima rekaman audio untuk panduan praktik meditasi dan diminta untuk tetap menelusuri berapa lama mereka berlatih setiap hari. Satu set pencitraan Resonansi Magnetik otak juga diambil dari kelompok kontrol non-meditator selama satu interval yang sama.

Kelompok peserta meditasi melaporkan meluangkan waktu sekitar 27 menit setiap hari berlatih mempraktikkan perhatian penuh, dan tanggapan mereka terhadap sebuah kuesioner perhatian penuh mengindikasikan kemajuan yang signifikan dibanding dengan tanggapan sebelum berpartisipasi. Hasil analisa pencitraan Resonansi Magnetik yang berfokus pada daerah dimana terdapat perbedaan terkait pada meditasi yang terlihat pada penelitian sebelumnya, menemukan peningkatan kepadatan materi abu-abu di dalam hipokampus, yang dikenal penting bagi pembelajaran dan ingatan (memori), dan di dalam struktur yang berkaitan dengan kesadaran diri, belas kasih dan introspeksi. Hasil laporan peserta melaporkan penurunan stres juga berkolerasi dengan kepadatan materi abu-abu di amigdala yang diketahui memainkan peranan penting dalam rasa cemas dan stres. Meskipun tidak ada perubahan yang terlihat pada struktur yang berkaitan dengan kedasaran diri yang disebut insula, yang telah teridentifikasi pada penelitian sebelumnya, para penulis menyarankan bahwa praktik meditasi jangka panjang mungkin dibutuhan untuk menghasilkan perubahan pada daerah tersebut. Tidak ada perubahan tersebut ditemukan pada kelompok kontrol, ini menunjukkan bahwa mereka tidak menghasilkan apapun dari pejalanan waktu.

“Hal yang menarik melihat plastisitas otak dan bahwa dengan mempraktikan meditasi, kita dapat memainkan peranan aktif dalam mengubah otak dan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup kita,” kata Britta Hölzel, Ph.D, penulis pertama makalah tersebut dan juga seorang anggota peneliti di MGH dan Universitas Giessen di Jerman. “Penelitian lain dalam populasi pasien penderita yang berbeda menunjukkan bahwa meditasi tersebut dapat membuat kemajuan yang signifikan dalam berbagai simtom/gejala, dan sekarang kami sedang menyelidiki mekanisme mendasar dalam otak yang memfasilitasi perubahan ini.”

Amishi Jha, Ph.D, seorang pakar neurosains Universitas Miami yang menyelidiki efek-efek pelatihan perhatian penuh pada individu-individu dalam situasi stres tinggi, mengatakan, “Hasil-hasil ini menjelaskan mekanisme akasi dari pelatihan berbasis perhatian penuh. Mereka menunjukkan bahwa pengalaman stres pertama seseorang tidak hanya dapat dikurangi dengan program pelatihan perhatian penuh selama 8 minggu tetapi pengalaman ini merubah sesuai dengan perubahan structural dalam amigdala, sebuah penemuan yang membuka pintu-pintu bagi banyak kemungkinan untuk penelitian lebih lanjut pada potensi MBSR (Program Reduksi Stres Berbasis Perhatian Penuh) untuk perlindungan terhadap disorder (gangguan) yang berkaitan dengan stress, seperti gangguan stress pasca-trauma.” Jha bukanlah salah satu dari investigator penelitian tersebut.

James Carmody, Ph.D, dari Pusat Perhatian Penuh di Sekolah Medis Universitas Massachusetts, merupakan salah satu dari rekan penulis penelitian tersebut, yang didukung oleh Institut Kesehatan Nasional, Perusahaan Penyiaran Inggris (BBC), dan Mind and Life Institute.

Kisah di atas diterbitkan (dengan adaptasi pengeditan oleh staf ScienceDaily) dari materi-materi yang disediakan oleh Rumah Sakit Umum Massachusetts (www.mgh.harvard.edu/).

Referensi Jurnal:
1. Britta K. Hölzel, James Carmody, Mark Vangel, Christina Congleton, Sita M. Yerramsetti, Tim Gard, Sara W. Lazar. Mindfulness practice leads to increases in regional brain gray matter density. Psychiatry Research: Neuroimaging, 2011; 191 (1): 36 DOI: 10.1016/j.pscychresns.2010.08.006.[Bhagavant/tr: Sum]

Petunjuk Meditasi Vipassanā

Meditasi jalan

Sebaiknya, latihan meditasi dimulai dengan meditasi jalan dahulu. Saat meditasi jalan, yang diperhatikan adalah gerakan kaki. Pertama-tama: berdirilah dengan tegak dan rileks (tidak tegang), kaki dibuka selebar pinggul (jangan rapat). Kepala jangan menunduk (bila tidak, akan cepat lelah), pandangan mata diarahkan ke lantai dengan jarak kurang lebih 2 meter. Jalan harus perlahan-lahan dengan jarak langkah maksimal 1 telapak kaki. Sebelum berjalan, sadarilah bahwa anda sedang berdiri, dengan mengatakan dalam hati (catat) ‘berdiri, berdiri, berdiri.’

Berjalanlah bolak-balik (jangan acak) dengan jarak 2-3 meter. Misalnya jalan dari titik A ke titik B. Saat sampai di titik B, yogi harus menyadari bahwa ia sedang berdiri dan catat ‘berdiri, berdiri, berdiri.’ Kemudian, yogi berputar (180 derajat) untuk kembali berjalan ke titik A, sadari dan catat ‘berputar, berputar, berputar,’ dan diakhiri dengan ‘berdiri, berdiri, berdiri.’ Lanjutkan meditasi jalan kembali ke titik A, setelah sampai titik A, lakukan hal yang sama seperti keterangan saat yogi sampai di titik B.

Berjalan mulai dengan langkah kiri-kanan dan sadari setiap langkah yang anda lakukan (1 pencatatan/langkah). Saat melangkah dengan kaki kiri, pastikan anda menyadari gerakan kaki kiri anda yang sedang melangkah. Untuk memudahkan hal itu (agar pikiran tidak mengembara, melamun, atau memikirkan hal lain), maka katakan dalam hati (catat) ‘kiri,’ begitu juga saat anda melangkah dengan kaki kanan, lakukan +/- 10 menit. Tingkatkan perhatian pada gerakan kaki dengan memperhatikan gerakan mengangkat dan menurunkan kaki (2 pencatatan/langkah). Saat kaki diangkat, perhatikan gerakan mengangkat tsb. (telapak kakinya) dan catat ‘angkat.’ Ketika kaki diturunkan, perhatikan gerakan menurunkan kaki tsb. dan catat ‘turun.’ Lakukan hal ini sekitar 20 menit. Kemudian, lakukan gerakan dengan 3 pencatatan/langkah (angkat, dorong/maju, turun). Saat malakukan gerakan mengangkat kaki, perhatikan gerakannya dan catat ‘angkat.’ Begitu juga dengan gerakan mendorong dan menurunkan kaki, perhatikan gerakan masing-masing dan catat ‘dorong/maju dan turun.’ Lakukan pengamatan terhadap gerakan ini sekitar 30 menit.

Saat melakukan meditasi jalan, sebaiknya hanya memusatkan pikiran pada gerakan kaki, bukan yang lainnya (bentuk kaki, rasa panas, dingin, berat, ringan, dll). Hal ini disebabkan unsur angin adalah unsur yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya gerakan. Dengan meningkatnya kemampuan konsentrasi, yogi dapat menambah pengamatan terhadap sensasi lainnya. Yogi juga tidak perlu perduli dengan hal lain seperti objek-objek yang berada di sekitar tempat meditasi yang terlihat, terdengar, tercium, dan tersentuh. Tetapi bila terjadi kontak dengan objek-objek tersebut dan merasa tertarik atau terganggu, maka yogi harus menyadari dan mencatat proses yang terjadi. Contoh: ketika yogi sedang memperhatikan gerakan kaki, yogi tertarik pada benda yang dilihatnya sehingga perhatiannya beralih ke benda tersebut. Maka, yogi harus berhenti berjalan, sadari proses melihat tersebut dan catat ‘melihat…melihat,’ begitu juga dengan mendengar, mencium, dan yang lainnya. Hal yang sama juga berlaku bila yogi berpikir, teringat sesuatu, semua hal yang datang melalui pintu pikiran, maka yogi harus menyadari proses tersebut dan mencatatnya ‘berpikir, ’ ‘ingat,’ ‘ingin,’ dst.
Semua gangguan di atas harus diamati/diperhatikan sampai fenomena tersebut benar-benar hilang. Tetapi untuk yogi pemula, hal ini tentu akan sangat sulit. Sehingga, setelah menyadari hal yang terjadi dan mencatatnya beberapa kali, yogi dapat kembali ke objek utama. Saat meditasi jalan, objek utamanya adalah gerakan kaki, sedangkan saat meditasi duduk objek utamanya adalah gerakan kembang-kempis perut atau duduk sentuh, atau objek yang dominan lainnya. Untuk tahap yang lebih dalam, pengamatan gerakan kaki dapat ditingkatkan lagi menjadi:
* angkat, dorong, turun, sentuh, tekan (5 pencatatan/langkah)
* Dapat ditambah dengan memperhatikan dan mencatat keinginan sebelum tiap gerakan, kecuali pada ‘sentuh.’

Meditasi duduk

Setelah melakukan meditasi jalan, saat menuju lokasi meditasi duduk dan bersiap-siap untuk duduk, semua kegiatan yang dilakukan harus diperhatikan dan dicatat dengan sebaik mungkin, usahakan agar konsentrasi jangan sampai terputus.

Usahakan untuk melakukan meditasi duduk setidaknya 1 jam.
Untuk meditasi duduk, duduklah dengan tegak dan rileks. Kaki, sebaiknya diletakkan sejajar (tidak ditumpuk), kaki yang satu ditaruh di belakang kaki yang lainnya. Hal ini bertujuan agar beban yang diterima tiap kaki seimbang, sehingga tidak cepat sakit dan dapat melakukan meditasi duduk dengan nyaman dan lama.
Terdapat dua objek utama, yaitu gerakan kembung-kempis dan duduk-sentuh. Saat menarik napas, maka ada udara yang masuk, normalnya perut akan mengembang (kembang). Saat menghembuskan napas, maka ada udara yang keluar, normalnya perut akan mengempis (kempis). Gerakan kembang-kempis inilah yang menjadi objek utama saat meditasi duduk. Bila yogi sulit merasakan gerakan tersebut, yogi bisa menaruh tangannya di perutnya. Bila telah dapat merasakannya dengan jelas, lepaskan tangan anda dan taruh kembali ke pangkuan anda.

Bila sangat sulit merasakan gerakan kembung-kempis, maka lakukan pengamatan duduk-sentuh. Yang dimaksud dengan ‘duduk’ adalah yogi menyadari sikap duduk yang tegak (bukan menyadari bentuk tubuh). Saat yogi duduk bersila, terdapat beberapa titik sentuh yang dapat diamati, misalnya sentuhan bokong, paha, mata kaki, dengan tempat duduk, atau sentuhan telapak tangan dengan punggung tangan atau paha, bisa juga sentuhan baju dengan anggota tubuh. Sensasi sentuhan di atas adalah yang dimaksud dengan ‘sentuh.’ Pada pengamatan duduk-sentuh sebaiknya menggunakan 2 titik sentuh, contoh: menggunakan titik sentuh di bokong kiri dan kanan, jadi pangamatannya menjadi ‘duduk, sentuh, sentuh.’
Saat mengamati/memperhatikan gerakan mengembungnya dinding perut, ikuti dari awal sampai akhir dari gerakan proses mengembung tersebut, dan katakan dalam hati (catat) ‘kembung.’ Lakukan hal yang sama pada proses mengempisnya dinding perut. Saat melakukan pengamatan tersebut, mungkin ada objek lain yang lebih dominan seperti ingat teman, pekerjaan, janji, atau berpikir tentang suatu hal. Bisa juga karena adanya gangguan dari rasa sakit, suara berisik, dan yang lainnya. Bila hal-hal tersebut timbul, maka hal itu menjadi objek perhatian yogi. Bila yogi mengingat sesuatu, maka yogi harus menyadari bahwa ia sedang mengingat sesuatu dengan memperhatikan proses tersebut dan catat ‘ingat, ingat, ingat.’ Bila yogi berpikir, maka perhatikan proses tersebut dan catat ‘pikir, pikir, pikir.’ Bila yogi merasakan sakit di anggota tubuhnya, maka perhatikan rasa sakit tersebut dan catat ‘sakit, sakit, sakit.’ Usahakan perhatian yogi tetap tertuju pada objek tersebut sampai objek tersebut hilang, kemudian kembali ke objek utama atau objek yang paling dominan pada saat itu.

Setelah yogi duduk beberapa saat, mungkin yogi akan merasakan ketidaknyamanan. Bila hal ini terjadi, jangan langsung mengubah posisi duduk, yogi harus memperhatikan rasa tidak nyaman tersebut. Bila timbul rasa kesal atau marah akibat ketidaknyamanan tersebut, maka rasa kesal atau marah itulah yang menjadi objek dan harus diperhatikan serta di catat ‘kesal, kesal, kesal.’ Bila keinginan mengubah posisi semakin dominan, maka keinginan itu menjadi objek dari perhatian yogi. Bila rasa tidak nyaman tersebut sudah tidak dapat ditahan, apa boleh buat, yogi dapat mengubah posisi duduknya. Walaupun demikian, yogi tidak boleh melepaskan perhatiannya pada gerakan yang dilakukannya.

Pada awal latihan meditasi duduk, seperti juga pada saat latihan meditasi jalan, banyak sekali gangguan dalam menjalankan meditasi, seperti pikiran mengembara, gangguan suara dari luar, dll. Sangatlah sulit bagi yogi pemula untuk dapat memperhatikan gangguan tersebut sampai hal itu berlalu. Jadi, yang harus dilakukan yogi adalah perhatikan objek dominan tersebut (gangguan), bila tidak hilang setelah diperhatikan dan dicatat untuk beberapa saat, maka yogi dapat kembali ke objek utama. Dengan bertambahnya konsentrasi, gangguan akan semakin berkurang, dan walaupun hal itu timbul, maka ketika diamati oleh yogi, hal itu akan cepat berlalu.

Dalam keadaan seperti ini biasanya yogi dapat melihat pergerakan kembung-kempis lebih jelas. Saat ini, yogi harus meningkatkan perhatiannya pada ‘awal-tengah-akhir’ masing-masing dari proses mengembang dan mengempis, begitu juga dengan objek lainnya. Sifat alami dari gerakan kembung-kempis adalah bertahap-tahap. Dengan konsentrasi yg lebih dalam lagi, yogi melihat bahwa gerakan mengempis bukanlah hanya satu gerakan yang utuh, tetapi terdiri dari beberapa tahap. Semakin dalam konsentrasinya, maka akan semakin banyak tahapan-tahapan dari gerakan mengembang atau mengempis yg dapat yogi lihat/rasakan. Yogi harus memusatkan perhatiannya pada tiap tahapan tersebut, saat muncul dan berakhirnya.

Bersikaplah netral terhadap objek luar (5 objek indera: suara, bau, dll.), bila hal itu tidak mengganggu, maka yogi tidak perlu perduli dengan objek-objek tersebut dan tetap berperhatian penuh pada objek utama. Chanmyay Sayadaw biasa menganjurkan para yoginya untuk memulai meditasi duduk dengan meditasi mettā (lihat di bawah). Bila meditasi duduk 1 jam, bisa lakukan 5-15 menit mettā. Bila hanya bisa melakukan meditasi 1 jam per hari, 15 menit meditasi jalan dan sisanya meditasi duduk.

Aktivitas Sehari-hari

Semua aktivitas/kegiatan di luar meditasi jalan dan duduk, disebut aktivitas sehari-hari. Contoh: namaskara, buku/tutup pintu, pergi ke kamar kecil, makan, minum, dsb. Semua aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara perlahan dan dengan perhatian penuh.

Ada dua macam aktivitas sehari-hari.
Pertama, aktivitas umum (berhubungan dengan yogi lain), misalnya: mandi, mengantri saat mengambil makanan/minuman, dsb. Aktivitas-aktivitas ini diamati secara garis besar (umum). Contoh: saat mandi, yogi hanya menyadari sedang mengguyur, menyabuni, menggosok, dsb.
Kedua, aktivitas pribadi, misalnya: saat makan, namaskara, pakai baju, dsb. Aktivitas-aktivitas ini diamati dan dicatat secara detil. Contoh: saat makan, berperhatian penuh dan catatlah setiap gerakan yang anda lakukan seteliti mungkin, mulai dari memilih makanan yang akan di sendok, mengambil sendok, mengumpulkan makanan yang akan disendok, menyendok, menggangkat sendok, membuka mulut, memasukkan makanan ke mulut, menutup mulut, meletakkan sendok, memejamkan mata, mengunyah, menelan, dst.

Semoga informasi ini dapat berguna dan membantu para yogi dalam memahami cara meditasi vipassanā. Bila ada yang kurang jelas silakan email atau telepon.

Salam mettā….

Andi
andinadi@hotmail.com

APA KATA PARA GURU MEDITASI : VIPASSANA DAN JHANA

Oleh: Ven. Visuddhacara
Diterjemahkan oleh Hudoyo Hupodio

Pada umumnya para guru meditasi Buddhis yang terkenal dan berpengalaman
sepakat bahwa jhana tidak diperlukan atau tidak merupakan syarat pendahulu bagi meditasi vipassana. Misalnya, dalam buku “Living Buddhist Masters” (dulu diterbitkan oleh Buddhist Publication Society, Sri Lanka, dan sesudah itu dengan judul baru, “Living Dharma”, diterbitkan oleh penerbit Shambala)karya Jack Kornfield, dari ke-12 guru yang ditampilkan di sana, semuanya menyatakan dengan jelas atau mengisyaratkan bahwa orang dapat melakukan vipassana tanpa memupuk jhana sedikit pun. Beberapa di antara mereka mengajarkan vipassana dengan bertumpu pada khanika-samadhi atau ‘konsentrasi-mendekat’ (upacara-samadhi). Yang lain mengajarkan baik samatha (ketenangan), jhana (absorpsi) dan vipassana, tetapi menekankan bahwa orang tidak perlu jhana untuk melakukan vipassana. Para pemeditasi dapat pindah ke vipassana setelah mencapai tingkat konsentrasi yang cukup untuk mengatasi kelima ‘rintangan batin’. Lebih jauh lagi, kebanyakan dari
mereka memperingatkan agar orang tidak melekat atau berhenti di dalam jhana dan menekankan perlunya melakukan vipassana. Beberapa di antara guru meditasi ini telah menjadi bhikkhu sejak masa remaja mereka dan bukan hanya mahir di dalam meditasi tetapi juga di dalam pengetahuan kitab suci. Mereka telah mempelajari Tipitaka, Kitab-kitab Komentar dan Kitab-kitab Subkomentar dalam bahasa aslinya, Pali, dan dengan demikian berbicara berdasarkan otoritas dari kitab suci maupun praktik dan pengalaman pribadi. Beberapa dari mereka telah berlatih di hutan-hutan selama bertahun-tahun dan menguasai baik samatha maupun vipassana.

AJAHN CHAH

Guru meditasi terkenal, Ajahn Chah, ditanya pada suatu sesi Tanya-Jawab:
“Apakah perlu untuk mampu masuk ke dalam absorpsi [jhana] dalam latihan kita?”

Jawab Guru: “Tidak, absorpsi(1) tidak diperlukan. Anda perlu mencapai suatu tingkat ketenangan dan pemusatan batin yang sekadar cukup. Lalu gunakan itu untuk mengamati diri sendiri. Tidak diperlukan sesuatu yang istimewa. Jika absorpsi muncul dalam latihan Anda, itu juga baik. Tapi jangan melekat kepadanya. Beberapa orang asyik dengan absorpsi. Itu bisa menjadi permainan yang amat menyenangkan. Anda harus tahu batas-batas yang semestinya. Jika Anda arif, Anda akan tahu kegunaan dan keterbatasan absorpsi, seperti Anda tahu keterbatasan anak kecil dibandingkan orang dewasa.”

Ajahn Chah, yang terkenal di kalangan pemeditasi vipassana di Timur maupun Barat, berbicara terutama berdasarkan otoritas pengalaman beliau; beliau telah menjadi bhikkhu sejak usia remaja dan pernah bermeditasi bertahun-tahun di hutan-hutan Thailand. Pada dewasa ini terdapat lebih dari 100 vihara yang merupakan cabang dari vihara pusat Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong, di Thailand. Sebagai tambahan, para murid beliau juga mendirikan pusat-pusat meditasi di berbagai bagian dunia.

AJAHN DHAMMADARO

Seorang guru meditasi Thai, yang pernah berlatih dalam beberapa teknik
meditasi, tetapi lebih menyukai vipassana langsung berdasarkan ‘konsentrasi saat-demi-saat’ (khanika-samadhi) adalah Ajahn Dhammadaro.

Beliau pernah ditanya: “Sang Buddha bicara tentang perlunya mengembangkan perhatian-penuh (mindfulness) dan konsentrasi. Dapatkah Anda bicara lebih dalam tentang konsentrasi?”

Jawaban beliau: “Ada tiga jenis konsentrasi yang dikembangkan dalam
meditasi. Dua di antaranya dikembangkan di jalan absorpsi (jhana), yakni:
‘konsentrasi-mendekat’ (upacara-samadhi) dan ‘konsentrasi-penuh’
(appana-samadhi, jhana). Keduanya dicapai dengan memusatkan perhatian pada satu obyek meditasi. Termasuk meditasi jenis itu ialah visualisasi dari wujud-wujud atau warna-warna tertentu, atau memusatkan perhatian pada perasaan tertentu, seperti cinta kasih (metta). Bila ‘konsentrasi-mendekat’ dan ‘konsentrasi-penuh’ (jhana) sudah tercapai, muncullah kenikmatan dan ketenangan; pemeditasi terserap sepenuhnya dalam obyek meditasinya, dan tiada ‘rintangan batin’ dapat mengganggunya. Penghentian kotoran batin yang bersifat sementara ini hanya berlangsung selama pemeditasi memusatkan perhatian pada obyek meditasinya. Begitu batin meninggalkan keterserapannya di dalam obyek, maka kenikmatan pun lenyap dan batin dirongrong lagi oleh arus kotoran batin. Sebagai tambahan, ada bahaya dari konsentrasi yang memusat ini. Oleh karena tidak menghasilkan kearifan, keadaan itu dapat membawa pada kelekatan terhadap kenikmatan batin atau bahkan penyalahgunaan kekuatan-kekuatan konsentrasi, dan dengan demikian malah menambah kotoran batin.

“Jenis konsentrasi ketiga di dalam Jalan Suci Berunsur Delapan dinamakan ‘konsentrasi benar’ atau ‘konsentrasi sempurna’. Konsentrasi ini dikembangkan atas dasar saat-demi-saat dalam meditasi pencerahan
(vipassana). Hanya konsentrasi saat-demi-saat mengikuti jalan
perhatian-penuhlah yang dapat menuntun pada musnahnya kotoran batin.
Konsentrasi ini tidak dikembangkan dengan memusatkan batin pada satu obyek tanpa-bergerak, melainkan dengan sadar sepenuhnya terhadap sensasi tubuh, perasaan, kesadaran dan bentuk-bentuk batin. Bila telah berkembang semestinya di dalam tubuh dan batin, konsentrasi saat-demi-saat membawa pada berakhirnya kelahiran yang berulang-ulang. Melalui konsentrasi ini, kita mengembangkan kemampuan melihat jelas kelima kelompok yakni tubuh, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk batin dan kesadaran, yang membentuk apa yang secara konvensional disebut ‘manusia’.”

Terhadap pertanyaan lain, “Maukah Bhante menjelaskan lebih lanjut
bagaimana mengembangkan konsentrasi saat-demi-saat?”, Ajahn Dhammadaro
menjawab: “Ada dua poin penting yang perlu dikemukakan. Pertama, pencerahan perlu dikembangkan melalui perasaan (vedana) yang timbul melalui kontak pada setiap pintu indra. Kelompok ‘tubuh’ adalah dasar untuk mengembangkan konsentrasi saat-demi-saat yang menghasilkan kearifan. Oleh karena itu, kita harus sadar sepenuhnya akan sensasi atau perasaan yang muncul dari kontak pada mata, telinga, hidung, lidah, tubuh/kulit dan batin/ingatan sebagai landasannya.

“Poin kedua yang penting adalah bahwa kontinuitas adalah rahasia
keberhasilan dalam meditasi. Pemeditasi harus berupaya untuk tetap sadar siang dan malam, setiap saat, dan dengan demikian dengan cepat
mengembangkan konsentrasi dan kearifan. Sang Buddha sendiri menyatakan
bahwa jika pemeditasi benar-benar sadar dari saat ke saat selama tujuh
hari, ia akan mencapai pencerahan penuh. Oleh karena itu, esensi meditasi pencerahan adalah perhatian-penuh saat-demi-saat terus-menerus
terhadap sensasi yang muncul dari kontak pada keenam landasan indra.”

Tekanan dan metode Ajahn Dhammadaro mirip dengan Mahasi Sayadaw; keduanya menekankan perhatian-penuh saat-demi-saat, siang malam, selama retret untuk memperoleh hasil terbaik. Sesungguhnya semua guru meditasi pada umumnya menekankan untuk mempertahankan perhatian-penuh terus-menerus, kecuali beberapa di antara mereka tidak memiliki jadwal meditasi yang intensif, melainkan meminta pemeditasi untuk mengerjakan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari yang normal disertai perhatian-penuh, seperti menyapu, menimba air dan membelah kayu. Mereka juga membolehkan membaca, belajar dan bercakap-cakap sedikit.

AJAHN JUMNIEN

Seorang guru meditasi Thai lain, Ajahn Jumnien, yang berpandangan bahwa
orang jangan melekat pada satu metode saja, melainkan mengakui validitas dari semua metode, entah samatha entah vipassana murni, sangat melegakan dan merupakan peringatan yang baik agar kita memiliki pandangan yang luas. Ajahn Jumnien tentu tahu, oleh karena beliau sendiri telah memraktikkan baik teknik samatha maupun vipassana. Beliau berkata, “Saya mujur. Saya menguasai praktik dari banyak guru meditasi sebelum saya mulai mengajar. Ada banyak praktik yang baik. Yang penting ialah bahwa Anda menekuni praktik Anda sendiri dengan yakin dan penuh energi. Kelak Anda akan tahu sendiri hasilnya.”

Ketika ditanya, jenis meditasi apakah yang diajarkannya di pusat
meditasinya di Thailand selatan, Ajahn Jumnien menjawab: “Di sini Anda akan menjumpai orang berlatih banyak teknik meditasi. Sang Buddha menguraikan lebih dari empat puluh jenis meditasi bagi para siswa beliau. Tidak semua orang mempunyai latar belakang yang sama, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama. Saya tidak mengajarkan hanya satu jenis meditasi saja, melainkan banyak jenis, dengan memilih jenis yang cocok bagi setiap siswa. Di sini ada yang melatih meditasi pernapasan. Yang lain bermeditasi dengan mengamati sensasi pada tubuh. Ada yang bermeditasi pada cinta kasih. Bagi orang lain yang datang, saya mengajarkan permulaan latihan pencerahan (vipassana); dan untuk orang lain saya mengajarkan metode konsentrasi yang kelak akan membawa mereka pada latihan pencerahan (vipassana) dan kearifan yang lebih tinggi.”

Namun, tampaknya Ajahn Jumnien lebih menyukai metode vipassana langsung, yakni langsung mulai dengan vipassana tanpa mengembangkan samatha-jhana. Beliau adalah murid Ajahn Dhammadaro, yang menyukai ‘khanika-samadhi’ (konsentrasi saat-demi-saat), yakni konsentrasi yang perlu dikembangkan oleh setiap pemeditasi vipassana langsung. Ketika ditanya: “Apakah biasanya Bhante mulai membimbing siswa Bhante langsung dengan meditasi vipassana atau dengan praktik konsentrasi?”, Ajahn Jumnien menjawab: “Paling sering mereka mulai dengan praktik vipassana. Namun, kadang-kadang saya mengajarkan praktik konsentrasi (jhana) dulu, terutama jika mereka pernah mempunyai pengalaman meditasi sebelumnya, atau jika batin mereka cenderung dengan mudah mencapai konsentrasi. Yang paling penting akhirnya semua orang harus kembali ke praktik vipassana.”

AJAHN BUDDHADASA

Ajahn Buddhadasa yang terkenal dari vihara Suan Mokh di Thailand selatan juga membolehkan orang untuk memintasi jhana dan melatih vipassana setelah mencapai tingkat konsentrasi yang cukup untuk mengatasi kelima ‘rintangan batin’. Ajahn Buddhadasa mengajarkan ‘anapanasati’ (meditasi pernapasan)dan menjelaskan ke-16 langkah yang dibutuhkan untuk mengembangkan jhana dan vipassana. Tetapi beliau juga membolehkan orang untuk memintasi jhana dan melatih dua saja dari ke-16 langkah itu. Dalam buku beliau, “Anapanasati — Perhatian Penuh dengan Pernapasan” halaman 116, Ajahn Buddhadasa berkata: “Jika ada orang merasa bahwa keenam belas langkah ini terlalu banyak, itu boleh-boleh saja. Ke-16 langkah itu bisa diringkas menjadi dua langkah saja. Pertama — latihlah citta (batin) untuk berkonsentrasi secara memadai
dan semestinya. Kedua — dengan samadhi itu pindahlah untuk langsung
mengamati ketidakkekalan (aniccam), keadaan tak-memuaskan (dukkham) dan
tanpa-aku (anatta). Dua langkah ini saja, jika dilakukan bersama setiap
tarikan dan hembusan napas, dapat dianggap sebagai anapanasati juga. Jika Anda tidak suka akan latihan 16 langkah itu, atau menganggap bahwa itu terlalu teoretis,atau terlalu banyak untuk dipelajari, atau terlalu
mendetail, ambillah saja dua langkah ini. Pusatkan batin dengan
berkonsentrasi pada pernapasan. Bila Anda merasa samadhi (konsentrasi)
sudah cukup kuat, selidikilah segala sesuatu yang Anda ketahui dan alami, sehingga Anda sadar betapa semua itu tidak kekal, betapa semua itu tidak memuaskan, dan betapa semua itu tanpa-ruh; ini saja sudah cukup untuk mencapai hasil yang diinginkan, yakni tinggalkan! lepaskan! jangan melekat! Akhirnya, perhatikan berakhirnya kilesa (kotoran batin) dan berakhirnya kelekatan bila aniccam-dukkham-anatta terlihat sepenuhnya. Demikianlah, Anda dapat mengambil jalan pintas ini jika mau.”

Di bagian lain dari buku beliau (hal. 124), di mana beliau lagi-lagi
memberi pilihan kepada para pemeditasi untuk memintasi pengembangan jhana, beliau berkata: “Kita akan mulai berbicara bagi mereka yang tidak suka ‘banyak’. Dengan istilah ‘banyak’ tampaknya mereka maksudkan terlalu banyak atau surplus. Nah, surplus itu tidak perlu. Kita akan mengambil hanya yang cukup saja bagi orang kebanyakan, yang kita namakan ‘metode jalan pintas’. Intisari dari metode ini ialah memusatkan batin secara memadai, cukup sampai di situ saja, yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Lalu gunakan batin yang sudah memusat itu untuk mengamati aniccam-dukkham-anatta, ketiga sifat eksistensi, sampai tercapai ’su~n~nata’ (kekosongan) dan ‘tathata’ (hakikat yang ada). Dengan latihan ini mereka akan memperoleh manfaat samadhi juga. Mereka akan memperoleh hasil lenyapnya dukkha yang sepenuhnya sama, tetapi tidak ada sifat-sifat istimewa lain sebagai tambahan dari itu.
Kemampuan-kemampuan istimewa seperti itu juga tidak dibutuhkan. Jadi
buatlah batin terpusat secara cukup, lalu selidiki ‘aniccam-dukkham-anatta’. Latihlah saja kelompok-empat pertama dari Anapanasati secara cukup, lalu kelompok-empat keempat secara cukup. [Ke-16 langkah dalam Anapanasati-sutta dikelompokkan menjadi empat kelompok-empat (tetrad)./hudoyo] Itu saja! Cukup dan tidak banyak, juga tidak lengkap,
tetapi sudah cukup bagus. Inilah jalan pintas bagai orang biasa.”

Ajahn Buddhadasa sendiri telah menyatakan dengan sangat jelas. Suatu taraf konsentrasi yang cukup saja yang diperlukan, dan jhana sama sekali tidak dibutuhkan.

Bagaimana Memilih Agama? Bhikkhu K. Sri Dhammananda

Bagaimana Memilih Agama?
Bhikkhu K. Sri Dhammananda
© 2010-2011

Pada jaman Sang Buddha, telah banyak ahli-ahli agama yang luar biasa kemampuannya di India. Banyak orang-orang pandai pada masa itu yang membicarakan perbedaan agama. Adakah sang pencipta? Tidak adakah sang pencipta? Adakah roh? Tidak adakah roh? Apakah dunia tanpa suatu awal? Apakah ada awal dari dunia? Itu adalah beberapa topik pembicaraan yang dengan sangat hebat diperdebatkan, yang telah menyita banyak waktu dan tidak pernah selesai.

Dan tentunya seperti juga pada masa kini, banyak orang yang menyatakan bahwa dirinya telah mendapatkan jawaban, dan apabila orang-orang tidak mengikutinya, maka mereka akan dikutuk dan masuk neraka. Tentunya semakin banyak pencipta “pelayan kebenaran”, akan semakin membingungkan.

Sekelompok anak muda suku Kalama yang saleh pergi menemui Sang Buddha, dan memohon untuk dijelaskan tentang kebingungan mereka. Apa yang harus dilakukan sebelum seseorang menerima atau menolak suatu ajaran.

Sang Buddha menasehati sebagaimana yang dijelaskan dalam Kalama Sutta;

“….adalah untuk tidak menerima sesuatu apabila didasarkan pada;sudah menjadi tradisi, sudah lama ada, atau sudah sering didengar….”

Umumnya, manusia menjadi yakin setelah mendengarkan pembicaraan orang lain. Mereka berpikir untuk menerima apa yang dikatakan oleh orang lain tentang agamanya, atau apa yang tersimpan di dalam kitab agamanya. Banyak orang tidak mau pusing-pusing untuk menelaah, mencari apa yang dikatakan itu benar ataukah tidak. Pendapat umum ini sungguh sulit untuk diterima, khususnya di jaman modern ini, di mana pendidikan telah mengajarkan manusia untuk tidak begitu saja menerima apa yang dikatakan sebelum dapat dijelaskan dengan cara yang benar. Banyak intelektual muda menggunakan emosi dan perasaan, atau ketaatan tanpa menggunakan nalar pikirannya.

Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha memberikan kebebasan penuh kepada kelompok anak muda tersebut untuk memilih, dan mengajarkan cara yang baik agar mereka menerima suatu agama secara rasional.

Ketika sekelompok anak muda suku Kalama tidak dapat memutuskan bagaimana memilih agama yang pantas, maka mereka datang kepada Sang Buddha untuk menerima nasihat Beliau. Mereka katakan kepada-Nya bahwa kumpulan agama yang memperkenalkan berbagai ragam agama, membuat mereka bingung, dan mereka tidak mengerti ajaran mana atau agama mana yang benar. Anak-anak muda tersebut dapat disamakan dengan anak muda masa kini yang merupakan pemikir-pemikir bebas, atau pengamat kebenaran. Itulah sebabnya mengapa mereka memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Sang Buddha. Mereka memohon petunjuk agar dapat menolong diri mereka untuk menemukan cara yang tepat tentang memilih agama, sehingga mereka dapat menemukan kebenaran tersebut.

Menjawab pertanyaan mereka, Sang Buddha tidak mengklaim bahwa Ajaran-Nya yang paling bernilai, dan tidak mengatakan bahwa orang-orang yang percaya agama lain akan masuk neraka. Beliau hanya memberikan nasihat yang sangat penting kepada mereka untuk direnungkan. Sang Buddha tidak pernah mendorong manusia untuk menerima suatu ajaran sebagai warisan, tetapi mengharapkan mereka untuk mengertinya tanpa purbasangka. Beliau juga tidak mendorong mereka untuk menggunakan emosi atau ketaatan secara membabi buta untuk menerima suatu agama. Ajaran Sang Buddha ini dikenal sebagai agama yang merdeka dan masuk akal.

Kita sebaiknya tidak menerima sembarang agama dengan percaya begitu saja, atau dengan emosi untuk mempraktikkan agama. Kita sebaiknya tidak menerima agama begitu saja, yang semata-mata untuk menghilangkan kecemasan kita tentang apa yang akan terjadi pada diri kita, baik setelah kita meninggal dunia atau karena diancam dengan api neraka, atau yang lainnya. Agama harus dapat diterima bila agama itu memberikan suatu kebebasan untuk memilih. Semua orang harus memeluk agama dengan pengertian yang benar, dan tidak dikarenakan itu adalah hukum yang ditentukan oleh apa yang disebut ‘yang kuasa’, atau suatu kekuatan supra natural. Menganut suatu agama harus bersifat manusiawi dan berdasarkan pendapat yang rasional mengenai agama itu.

Manusia dapat saja membuat pernyataan tentang agamanya dengan membeberkan berbagai macam kejadian untuk menyakinkan orang lain. Akhirnya mereka dapat memperkenalkannya sebagai wahyu untuk mengembangkan kesetiaan dan kepercayaan. Tetapi seharusnya kita membaca apa yang tertulis secara analistis dengan menggunakan pikiran sehat dan kekuatan akal pikiran. Inilah yang Sang Buddha nasihatkan kepada kita untuk tidak menerima sesuatu secara tergesa-gesa yang tercatat, tradisi, atau telah lama dibicarakan.

Manusia melaksanakan tradisi-tradisi tertentu yang didasarkan pada kepercayaan, keharusan, atau pola hidup suatu kelompok dimana dia dilahirkan. Akan tetapi bagaimanapun juga tradisi itu penting dan berguna. Hal mana, Sang Buddha tidak menyatakan semua tradisi itu keliru, tetapi menasihatkan kita untuk lebih berhati-hati melaksanakannya, yang mana berguna, yang mana tidak berguna. Kita harus menyaring tradisi-tradisi tertentu yang ketinggalan jaman dan tidak berguna setelah suatu masa. Karena banyak tradisi diperkenalkan dan dianut oleh manusia primitif dengan pengertian mereka yang sangat terbatas tentang kehidupan manusia dan alam semesta pada masa itu. Tetapi pada masa kini, dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sudah sangat modern serta pengetahuan tentang alam semesta, kita dapat mengerti fenomena kehidupan alam.

Kepercayaan yang diyakini manusia primitif tentang matahari, bulan, bintang, angin, kilat dan guntur, hujan dan gempa bumi didasarkan pada usaha mereka untuk menyibak fenomena alam yang nampaknya sangat mengerikan. Para ahli pada masa itu berusaha menjelaskan bahwa itu adalah dewa atau dilakukan dewa-dewa dan kekuatan supra natural. Dengan pengetahuan kita yang sudah maju, kita dapat menjelaskan kepada mereka tentang gejala alam sebagaimana apa adanya.

Itulah mengapa Sang Buddha berkata;

“Jangan menerima apa yang hanya sekali kamu dengar. Jangan mencoba membenarkan kelakuan yang tidak masuk akal dengan mengatakan bahwa itu adalah tradisi, kemudian kita harus untuk menerimanya”

Kita sebaiknya tidak percaya kepada tahyul atau dogma agama dengan begitu saja hanya karena dikemukakan oleh orang yang lebih tua. Bukannya kita tidak menghormati mereka, tetapi kita harus seiring dengan jaman. Kita sebaiknya memelihara kepercayaan yang sesuai dengan pandangan dan nilai jaman modern, serta menolak apa yang berlebih-lebihan, atau tidak sesuai dengan perubahan waktu. Dengan cara ini kita dapat hidup dengan lebih baik.

Beberapa puluh tahun yang lalu, ketua gereja Anglikan, Uskup dari Woolich mengemukakan “perbedaan tuhan” untuk menjelaskan apa yang tidak dimengertinya mengenai atribut tuhan. Karena pengetahuan kita berkembang, kekuatan dewapun ‘berkurang’ secara bersamaan.

Setiap orang senang mendengar cerita. Mungkin inilah yang menyebabkan orang percaya kabar angin. Pandangan seratus orang yang menyaksikan suatu kejadian akan berbeda-beda, dan ketika setiap orang menceritakannya kepada orang lain, dia akan menghubungkannya dengan cara yang berbeda dengan menambahkan beberapa hal lain dan membesar-besarkan yang kecil.

Dia akan memperindahnya dan menambahkan garam dan bumbu untuk membuat ceritanya menjadi sedap dan menarik. Umumnya, setiap orang akan menceritakan kisahnya seolah-olah hanya dia yang dapat menceritakannya dengan jelas. Inilah kebiasaan manusia, yang menciptakan dan mengembangkan suatu kisah.

Jika anda membaca cerita tertentu, coba ingat, sebagian besar interpretasinya adalah menghias suatu kejadian kecil sehingga tampak indah dan menarik. Namun, tidak ada satupun makna dari kisah itu yang diceritakan kepada kita, dan tidak ada yang menaruh perhatian pada cerita itu.

Sebaliknya, cerita adalah suatu cara yang sangat menarik untuk menyampaikan berita tentang kemoralan. Buku-buku Buddhis adalah suatu kumpulan yang sangat kaya akan kisah-kisah tersebut. Tetapi apa yang tercatat di dalam buku-buku tersebut hanya sekedar cerita. Kita tidak harus percaya kepadanya seolah-olah cerita itu adalah suatu yang mutlak. Kita sebaiknya tidak seperti seorang anak kecil yang percaya bahwa seekor serigala dapat mengerti apa yang dikatakan oleh seorang nenek, dan bercakap-cakap seperti seorang manusia.

Banyak orang bercerita tentang keajaiban, ketuhanan dan tuhan, bidadari, dan kekuatan yang menandakan apa yang mereka anut. Banyak orang cenderung untuk menerima sesuatu tanpa mengadakan penyelidikan, tetapi berkenaan dengan agama Buddha, kita hendaknya tidak percaya begitu saja kepada sesuatu yang diceritakan oleh karena mereka sendiri terpedaya.

Umumnya, manusia di dunia ini masih berada dalam kegelapan dan kemampuan mereka untuk mengerti akan kebenaran itu sangat miskin. Hanya sedikit orang yang mengerti dengan baik. Bagaimana mungkin seorang buta menuntun seorang buta lainnya? Kemudian yang lainnya berkata, “seorang pemimpin bermata satu dapat menjadi raja di antara orang-orang buta”. Beberapa orang mungkin hanya mengetahui sebagian kecil dari suatu kebenaran. Kita harus berhati-hati dalam menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mutlak ini.

Selanjutnya, Sang Buddha memperingatkan kita untuk tidak percaya begitu saja kepada apa yang tercatat di dalam kitab suci. Beberapa orang selalu mengatakan bahwa pesan yang tertulis di dalam kitab sucinya itu disampaikan langsung oleh tuhan mereka. Sekelompok orang berusaha memperkenalkan apa yang ada di dalam buku-buku sebagai pesan langsung dari surga. Hal ini tentu saja sulit untuk dipercaya bahwa mereka menerimanya dari surga, dan mencatatnya ke dalam kitab suci mereka-terjadi hanya pada beberapa ribu tahun yang lampau.

Mengapa wahyu tersebut tidak diberikan lebih awal? (mengingat umur bumi telah mencapai kira-kira 4.5 milyar tahun). Mengapa itu dibuat hanya untuk menyenangkan beberapa orang saja? Tentunya akan lebih efektif apabila mengumpulkan semua orang di suatu tempat, dan lebih baik mengungkapkan kebenaran kepada banyak orang daripada hanya mengandalkan seorang saja untuk melakukan tugas itu.

Bukankah lebih baik jika tuhan mereka menampakkan dirinya pada hari-hari tertentu untuk membuktikan keberadaan dirinya? Dengan cara itu mereka tidak akan mendapat kesulitan untuk memeluk seluruh dunia.

Umat Buddha tidak mencoba untuk memperkenalkan ajaran Sang Buddha sebagai wahyu ilahi, dan tidak akan menggunakan kekuatan mistik dan hal yang aneh-aneh untuk membabarkan ajaran. Menurut Sang Buddha, kita sebaiknya tidak menerima ajaran-Nya sebagaimana yang tercatat di dalam kitab suci Buddhis secara membabi buta tanpa suatu pengertian.

Inilah suatu ciri khas bahwa kemerdekaan adalah suatu hal yang diberitakan oleh Sang Buddha. Beliau tidak pernah mengklaim bahwa umat Buddha adalah orang-orang pilihan, Beliau memberikan penghargaan yang lebih tinggi kepada kemampuan dan kepandaian manusia.

Cara yang paling baik bagi manusia yang rasional untuk mengikuti apapun, adalah dengan mempertimbangkan secara hati-hati sebelum menerima atau menolak sesuatu. Mempelajari, berpikir, meneliti sampai kita yakin dan membuktikannya, jika anda menerima hanya karena ‘yang kuasa’ atau kitab suci, anda tidak akan pernah membuktikan kebenaran tersebut pada diri anda. (Tidak tergantung pada logika dan pendapat pribadi adalah salah satu nasihat Sang Buddha). Jangan berpikir bahwa kekuatan rasional anda adalah mutlak. Sebaliknya, anda akan menjadi sangat bangga dan sombong, serta tidak mau mendengar pendapat orang lain, yang mungkin lebih tahu dari anda sendiri.

Biasanya kita menasihatkan orang lain untuk menggunakan akal pikirannya. Tentu, dengan menggunakan daya pikiran dan akal yang terbatas, manusia tidak sama dengan hewan dalam hal menggunakan pikiran. Semua anak-anak dan orang-orang yang tidak terdidik menggunakan kekuatan pikiran sesuai dengan usia, kedewasaan, pendidikan, dan pengertiannya. Tetapi kekuatan pikiran berbeda dengan kedewasaan, ilmu dan pengalaman. Sekali lagi, akal pikiran adalah suatu yang berubah dari waktu ke waktu. Pribadi seseorang atau pengenalan terhadap konsep juga berubah dari masa ke masa.

Sebagaimana akal pikiran tidak akan berakhir untuk beranalisa akan suatu kebenaran yang pasti. Setelah tidak ada pilihan lain, kita harus menggunakan kekuatan pikiran kita sehingga mendapatkan pengertian yang sebenarnya. Tujuan kita adalah secara berkesinambungan mengembangkan daya pikir dengan menyiapkan diri belajar dari orang lain, tanpa memberi kesempatan kepada kepercayaan yang membuta. Dengan mengekspos diri kita terhadap berbagai cara berpikir yang berlainan, dengan menguji kepercayaan kita, pikiran kita akan selalu terbuka, kita mengembangkan pengertian kita dan dunia di sekeliling kita.

Sang Buddha pergi mencari semua guru ahli sebelum Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Beliau dapat menerima apa yang mereka ajarkan. Sebagai pengganti, Beliau menggunakan seluruh daya pikir-Nya untuk menembus kebenaran. Dan ketika Beliau mencapai Penerangan Sempurna, Beliau tidak pernah kehilangan sifat-Nya atau memaksa orang lain yang tidak setuju dengan ajaran-Nya.

Sekarang kita pertimbangkan dengan argumentasi atau logika. Sekali waktu pikiran kita menentukan sesuatu hal dapat diterima, kita namakan itu masuk akal. Sesungguhnya seni berlogika itu adalah alat yang sangat berharga untuk berargumentasi. Logika dapat dieksloitasikan oleh seorang pembicara berbakat yang menggunakan kepandaian dan kelicikan.

Seseorang yang sangat pandai bicara dapat menjatuhkan suatu kebenaran dan keadilan, serta menghancurkan yang lain, seperti pengacara di pengadilan. Kelompok agama yang berbeda mengatakan bahwa agamanya adalah yang terbaik dibanding dengan lainnya. Argumentasi mereka biasanya didasarkan pada bakat dan kemampuan yang mengekspresikan ide-ide mereka, tetapi sesungguhnya mereka tidak tertarik kepada kebenaran. Itulah alam dari argumentasi.

Untuk mencapai kebenaran, Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak dipengaruhi oleh argumentasi atau logika yang menyimpang dari penelitian. Ketika manusia mulai dengan argumentasi, biasanya emosi menyala dan hasilnya adalah pertengkaran argumentasi. Terakhir, egoisme manusia ditambahkan untuk adu pendapat. Akhirnya hanya menciptakan permusuhan, sebab tidak ada seorang pun yang bersedia mengeluarkan pendapatnya lagi. Oleh karena itu, seseorang jangan mengembangkan kebenaran agama sampai menimbulkan pertentangan pendapat. Itulah salah satu nasihat penting yang telah disampaikan oleh Sang Buddha.

Nasihat berikutnya adalah untuk tidak menerima suatu kebenaran mutlak karena pengaruh seseorang. Hal ini menunjuk kepada kepercayaan seseorang yang tampak seperti kebenaran melalui daya khayalannya, meskipun kita mempunyai beberapa keraguan dalam pikiran kita sebelum kita menerima hal-hal tertentu sebagai kebenaran atau setelah kita kehabisan akal penelitian.

Setelah pikiran kita banyak ditipu oleh kemampuan dan emosi perasaan, sikap mental kita menciptakan banyak ilusi, khayalan. Kita juga dibelenggu oleh ketidak-tahuan. Semua orang menderita dikarenakan kebodohan dan bayang-bayang. Kekotoran batin menyelimuti pikiran sehingga kita condong berprasangka dan tidak dapat membedakan antara kebenaran dan bayang-bayang. Hasilnya, kita hanya yakin bahwa diri kitalah yang paling benar. Nasihat Sang Buddha adalah untuk tidak mengambil kesimpulan semata-mata berdasarkan emosi perasaan, akan tetapi carilah banyak keterangan dan renungkan sebelum mengambil suatu kesimpulan. Maka, sebaiknya kita harus mendengarkan terlebih dahulu apa yang dibicarakan oleh orang lain. Mungkin mereka akan menghilangkan keragu-raguan kita dan menolong kita mengakui kesalahan yang dianggap benar.

Sebagai contoh, pada jaman dulu manusia percaya bahwa matahari mengelilingi bumi, yang diyakini seperti uang logam yang datar. Hal ini didasarkan pada terbatasnya ilmu pengetahuan; tetapi mereka akan merejam siapa yang berani menentang pendapat tersebut. Terima kasih kepada Guru Agung kita, bahwa umat Buddha tanpa catatan sejarah hitam dimana kita pernah menentang sesuatu yang tidak masuk akal. Hal mana menyebabkan banyak sekali sekolah Buddhis dapat hidup berdampingan secara damai dengan yang lainnya. Dengan didasari oleh ajaran Sang Buddha yang sangat jelas, umat Buddha menaruh hormat kepada pandangan orang lain, yang juga benar.

Nasihat lainnya adalah untuk tidak menerima sesuatu yang nampaknya benar. Ketika anda melihat dan mendengarkan tafsiran yang diberikan oleh orang lain, anda menerima begitu saja hanya dari bentuk yang tampak tanpa menggunakan daya penganalisaan anda.

Sering kali konsep atau pendapat yang anda ciptakan tentang obyek jauh dari hakikat yang sebenarnya. Mencoba untuk melihat sesuatu tanpa memberikan suatu pemantas atau pembanding, pandangan Buddhis terkenal sebagai analisa doktrin. Hanya berdasarkan analisa, kita dapat mengerti realita dari suatu hukum benda dan hubungan antara elemen dan tenaga energi berfungsi, bagaimana mereka timbul dan tenggelam.

Jika anda benar-benar memeriksa sifat dasar dari alam ini, dan dapat anda buktikan bahwa segala sesuatu itu tidak kekal atau anicca, serta pandangan tentang objek lebih maju; maka tidak akan menciptakan kekecewaan. Dan anda akan menyadari, bahwa tidak ada gunanya untuk bertengkar tentang pendapat; yang akhirnya hanya suatu bayangan atau ilusi; yang tampaknya seperti sesuatu yang benar. Umat Buddha tidak perlu mempertaruhkan kehormatan untuk bertengkar soal dunia akan kiamat, sebab pasti, segala sesuatu akan musnah dan diganti.

Suatu saat, dunia pasti kiamat. Tidak perlu ragu-ragu tentang hal ini. Setiap napas kita masuk dan keluar, sebagian dari tubuh kita rusak. Akhir dunia (yang disabdakan oleh Sang Buddha) secara umum adalah suatu kejadian dramatis yang terjadi setiap saat dari kehidupan kita. Ilmu astronomi modern menyatakan bahwa dunia dapat meletup setiap saat. Umat Buddha tidak kuatir masa yang lalu dan tidak kuatir akan masa depan, yang penting adalah pada saat ini, hari ini, mereka dalam keadaan tenang.

Sebagaimana kita ketahui, akhir dari dunia bukan sesuatu yang menakutkan atau sesuatu yang menjadikan kita gelisah. Sang Buddha memperingatkan pengikut-Nya untuk tidak tergantung kepada pengalaman seseorang yang berspekulatif. Setelah mendengar atau membaca teori tertentu, orang-orang pada umumnya akan secara sederhana tiba pada suatu kesimpulan dan memegang teguh kepercayaannya. Mereka dengan sangat kasar menolak untuk mengubah pandangan hidupnya, sebab sekali mereka memeluk kepercayaan tersebut, mereka telah diperingatkan bahwa mereka akan dibakar di neraka apabila menukar kepercayaan.

Di dalam ketidak-tahuan dan ketakutan, orang-orang ‘miskin’ yang hidup dalam surga kebodohan berpikir bahwa dosa-dosa mereka secara ajaib telah dimusnahkan, dihapuskan. Sang Buddha menasihatkan untuk tidak membuat suatu kesimpulan dengan tergesa-gesa, yang memutuskan apakah sesuatu itu benar atau sebaliknya.

Banyak orang menemukan segala sesuatu di dunia ini, tetapi hal yang paling sulit bagi mereka adalah melihat kebenaran atau kenyataan. Kita sebaiknya tidak tergantung pada desas-desus untuk mengerti suatu kebenaran, kita mungkin menerima hal tertentu sebagai dasar untuk memulai suatu penyelidikan, yang pada akhirnya akan memuaskan rasa ingin tahu kita.

Keputusan yang kita ambil berdasarkan spekulasi dapat diibaratkan dengan keputusan yang dibuat oleh sejumlah orang buta, yang memegang bagian tubuh seekor gajah. Semua orang mengatakan bahwa dialah yang paling benar, berdasarkan apa yang dipikirkan tentang seperti apa bentuk gajah itu. Semua berkata dialah yang paling benar, walaupun apa yang dikatakan itu ternyata salah, dalam pikiran mereka bahwa pendapat mereka itu benar belaka.

Kita juga jangan seperti katak dibawah tempurung, yang berpikir tidak ada dunia lain selain yang dilihatnya. Kita dibutakan oleh mental batin kita yang kotor. Inilah yang menyebabkan kita sulit menerima kebenaran. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang salah mengerti dan mempengaruhi kita dengan amat mudah. Kita selalu mengubah kepercayaan yang kita terima sebagai kebenaran sebab kita tidak memegang teguh ajaran tersebut.

Manusia mengubah agamanya dari waktu ke waktu sebab mereka sangat mudah dipengaruhi emosi kemanusiaan. Sekali kita dapat menyatakan kebenaran, kita tidak perlu mengubahnya lagi karena berbagai keadaan, sebab pada akhirnya kebenaran tidak berubah, hal itu adalah mutlak.

Jangan dengan amat mudah mengubah pandangan hanya karena kagum pada kemampuan yang tampaknya luar biasa, ini adalah nasihat berikut yang diberikan oleh Sang Buddha kepada kelompok anak muda suku Kalama. Banyak orang yang mempunyai kemampuan sangat mengangumkan dengan kelakuan dan kemampuan nyata untuk melakukan hal-hal tertentu. Sebagai contoh, akankah anda secara membuta percaya bahwa gadis-gadis dalam iklan televisi yang menyatakan, bahwa anda akan menjadi cantik secantik dia, mempunyai gigi seindah dia, apabila menggunakan pasta gigi merek tertentu?

Tentu saja tidak! Anda tidak akan menerima begitu saja tanpa mencoba untuk menguji secara hati-hati tentang kebenaran ucapannya. Hal ini seperti apabila seseorang yang pandai berbicara mengetuk pintu anda dan secara gemilang menceritakan ‘kebenaran’. Mereka mungkin bercerita tentang banyak guru-guru agama, guru dan ahli-ahli meditasi. Mereka juga akan menambahkan suatu pernyataan yang dibesarkan tentang kemampuan guru mereka untuk mempengaruhi pikiran anda.

Jika anda secara membuta menerima apa yang dikatakan sebagai kebenaran, dengan pikiran dangkal anda akan percaya dengan gentar dan rasa takut, sebab anda sudah terpengaruh. Anda mungkin akan mengikuti kepercayaannya untuk beberapa waktu, namun pada suatu saat, anda akan menjadi ragu-ragu sebab tidak menerimanya sesuai dengan pengertian dan pengalaman. Secepat seorang guru yang pandai datang, kami akan membuang yang pertama.

Periksalah apa yang dikatakan oleh Sang Buddha. Renungkan bagaimana masuk akalnya, rasional, dan ilmiahnya ajaran Beliau;

“Jangan mendengar kepercayaan orang dengan membuta. Dengarkan dengan segenap perhatian, dengan pikiran yang terkonsentrasi, dan pikiran yang terbuka, tetapi sebaiknya jangan mengeluarkan pendapat pribadi dan keahlian anda ketika mendengarkan pembicaraan mereka. Mereka mungkin akan mencoba untuk membangkitkan emosi dan mempengaruhi pikiran seiring dengan kebutuhan duniawi untuk memenuhi hasrat anda. Tetapi mungkin maksud tujuan mereka bukan kepentingan menyatakan ‘kebenaran’.”

“Jangan menerima segala sesuatu karena pertimbangan ini adalah guru kami, ‘inilah nasihat terakhir dari Sang Buddha pada konteks ini. Pernahkah anda mendapatkan dari guru yang berguna, sayalah tuhan. Ikutilah saya, puja saya, berdoalah pada saya, bila tidak anda tidak akan diselamatkan’. Mereka juga berkata; ‘Kamu jangan memuja tuhan yang lain atau guru yang lain’.”

Pikirkan dan renungkan sejenak untuk mengerti apa sikap Sang Buddha dalam hal ini. Beliau berkata;

“Jangan secara membuta tergantung kepada gurumu.”

Beliau adalah penemu dari sebuah agama atau seorang Guru terkenal, tetapi secara tenang ‘menganjurkan’ anda sebaiknya tidak mengembangkan pikiran yang hanya baru sekali saja mendengar. Hal ini menunjukkan Sang Buddha sangat menghargai kemampuan seseorang dan menginginkan seseorang untuk menggunakan kebebasannya tanpa tergantung pada orang lain.

Sang Buddha berkata;

“Jadilah pulau pelindung bagi dirimu sendiri.”

Sang Buddha telah menyatakan kepada kita, bahwa Beliau hanyalah seorang guru yang telah mencapai Penerangan Sempurna, dan pengikut-Nya tidak perlu berlebihan untuk memuja-Nya. Beliau tidak pernah menjanjikan kepada pengikut-Nya, bahwa dengan mudah akan masuk surga atau mencapai Nibbana, jika secara membuta memuja-Nya.

Jika kita melaksanakan ajaran dari suatu agama hanya berdasarkan pada guru tersebut, kita tidak akan dapat merealisasikan kebenaran. Tanpa membuktikan kebenaran suatu agama yang kita anut, kita dapat menjadi korban dari kepercayaan membuta dan mengurung kebebasan berpikir; akhirnya kita hanya menjadi budak guru tertentu dan membenci guru yang lainnya.

Harus kita buktikan bahwa kita tidak tergantung pada orang lain untuk keselamatan diri kita sendiri. Tetapi kita harus hormat pada guru-guru agama yang tulus dan berjasa terhadap kebaikan. Guru-guru agama akan dapat mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan untuk memperkuat keselamatan, tetapi ingat, tidak seorang pun dapat menyelamatkan orang lain. Penyelamatan ini tidak sama dengan menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan bahaya. Inilah pembebasan dari kekotoran batin dan penderitaan duniawi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa kita harus bekerja sendiri untuk mencapai kebebasan atau persamaan; sebagaimana nasihat yang diberikan oleh guru-guru agama.

“Tidak ada seorangpun yang dapat menyelamatkan orang lain. Sang Buddha hanya penunjuk jalan.”

Dapatkah anda berpikir bahwa ada guru agama lain yang akan mengatakan hal-hal tersebut? Inilah kebebasan yang kita miliki dalam ajaran Sang Buddha.

Itulah sepuluh nasehat yang diberikan oleh Guru Agung junjungan kita Sang Buddha Gotama kepada kelompok anak muda suku Kalama, yang datang kepada Beliau dan bertanya;

“Bagaimanakah sikap yang benar untuk menerima sebuah agama, dan bagaimanakah caranya untuk memutuskan ajaran mana yang benar?”

Jangan menjadi manusia egois atau memperbudak orang lain; dan jangan melakukan sesuatu yang hanya menguntungkan seseorang saja, tetapi pertimbangkan manfaat bagi yang lainnya. Beliau berkata kepada mereka, bahwa mereka akan dapat mengerti apa yang telah ditunjukkan Beliau dengan pengalaman. Beliau juga berkata tentang berbagai ragam praktik dan kepercayaan, hal-hal tertentu baik bagi seseorang akan tetapi belum tentu baik bagi orang lainnya, sebaliknya hal itu baik bagi dia akan tetapi tidak untuk yang sedang istirahat. Sebelum anda melakukan sesuatu, sebaiknya anda mempertimbangkan apakah manfaat yang akan diperoleh.

Inilah petunjuk-petunjuk Sang Buddha yang harus dipertimbangkan sebelum menerima suatu agama. Sang Buddha memberikan kebebasan penuh untuk memilih agama, sebagaimana yang ditunjukkan sebagai pendiri kita.

Agama Buddha adalah sebuah agama yang mengajarkan kita untuk mengerti, bahwa manusia bukan untuk agama, tetapi agama untuk digunakan manusia. Agama dapat diibaratkan seperti sebuah rakit untuk menyeberangi sungai. Setelah tiba di pantai seberang, seseorang dapat meninggalkan rakit tersebut dan melanjutkan perjalanannya.

Seorang manusia sebaiknya menggunakan agama untuk kemajuan dirinya dan mencari kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan. Agama Buddha adalah sebuah agama yang dapat kita gunakan untuk hidup dengan penuh perdamaian, dan mengajak yang lainnya hidup damai pula sebagaimana yang kita rasakan.

Sambil mempraktikkan ajaran agama, kita juga harus bersikap hormat terhadap agama lain. Sulit memang menaruh rasa hormat kepada kepercayaan orang lain, dan sikap buruk terhadap keyakinan orang lain yang tampak ini harus dapat ditoleransi dengan tanpa mengganggu atau menghina agama lain. Banyak agama lain yang telah mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya untuk mengambil sikap ini.

Hak Cipta: Edisi DhammaCitta Pedia © 2010-2011 DhammaCitta
Sumber: http://www.ksridhammananda.com/. Penerjemah : Hendri Gunawan. Editor : Tommy Jayamudita.
Aturan Penggunaan: Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Saran Penulisan Kutipan: “Bagaimana Memilih Agama?”. DhammaCitta Pedia, 1 September 2010, “http://dhammacitta.org/dcpedia/Bagaimana_Memilih_Agama” atau “http://dhct.ws/d305”

Bahan Dharma Desana

1. Arti dan manfaat meditasi http://wp.me/pVDV2-1G
2. Belajar Meditasi http://wp.me/pVDV2-1K
3. manusia dharma http://wp.me/pVDV2-1V
4. MEDITASI VIPASSANA DAN EMPAT KESUNYATAAN MULIA OLEH : SAYADAW CHANMYAY http://wp.me/pVDV2-21
5. Samatha & Vipassana, serta 4 macam yogi http://wp.me/pVDV2-29
6. Matra Maha Karuna Dharani http://wp.me/pVDV2-1w
7. JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN (Ariya Atthangiko Magga) http://wp.me/pVDV2-2f
8. ANDALAH YANG BERTANGGUNG JAWAB Oleh K. Sri Dhammananda http://wp.me/pVDV2-10
9. Arti dan Makna Om Mani Padme Hum http://wp.me/pVDV2-1z
10.Cara Bermeditasi Oleh Yang Mulia Piyananda http://wp.me/pVDV2-W
11.Sutra kelenyapan Dharma http://wp.me/pVDV2-2q
12.Pengamatan dalam Meditasi Vipassanā http://wp.me/pVDV2-1t
13.Bagaimana Memilih Agama? Bhikkhu K. Sri Dhammananda http://wp.me/pVDV2-2x
14.APA KATA PARA GURU MEDITASI : VIPASSANA DAN JHANA http://wp.me/pVDV2-2J
15.Petunjuk Meditasi Vipassana http://wp.me/pVDV2-2N
16.Meditasi Perhatian Penuh Ubah Struktur Otak http://wp.me/pVDV2-2W

Sutra Kelenyapan Dharma

Demikianlah yang telah kudengar. Pada saat itu Buddha berada di negeri Kusinagara. Tathagata akan parinirvana dalam tiga bulan. para bhiksu dan Bodhisattva, berikut banyak sekali makhluk hidup lain sudah datang untuk menyembah dan bersujud kepada Buddha. Sang Bhagavan dalam keadaan tenang dan diam. Buddha tidak bicara satu kata pun dan cahayaNya tidak muncul. Ananda bersujud dan bertanya kepada Buddha, “Oh Bhagavan, sebelum ini setiap kali Tathagata memberikan Dharma, cahaya mempesona muncul. Namun hari ini dalam persamuan besar ini tidak ada pancaran cahaya. Pasti ada sebab musabab untuk hal ini dan kami ingin mendengar penjelasan Bhagavan.” Buddha tetap diam dan tidak menjawab sampai permintaan Ananda diulang tiga kali. Buddha kemudian memberitahu Ananda. “Setelah saya parinirvana, ketika Dharma sudah menjelang lenyap, pada waktu Lima Kemerosotan (kemerosotan kalpa, kemerosotan pandangan, kemerosotan kekotoran batin, kemerosotan makhluk hidup dan kemerosotan usia) sedang melanda dunia, gaya hidup sesat akan tumbuh dengan subur. Mara-mara akan berpura-pura menjadi Sramana(orang suci); mereka akan menyesatkan dan merusak ajaran Saya, mengenakan pakaian orang awam, mereka lebih suka berjubah indah yang terbuat dari kain yang berwarna-warni. Mereka akan minum minuman keras, makan daging, membunuh makhluk lain, dan mereka akan menurutkan nafsu mereka memakan makanan yang dibumbui dengan beraneka ragam rasa. Tidak berbelas kasih dan bahkan saling membenci di antara mereka. Pada waktu itu ada Bodhisattva, Pratyekabuddha, dan Arahat yang akan dengan hormat dan tekun menanam kebajikan yang tak ternoda. Mereka akan dihormati orang dan ajaran mereka akan adil dan sederajat. Mereka akan menaruh belas kasihan terhadap orang miskin, teringat kepada orang yang sudah lanjut usia, dan mereka akan menyelamatkan dan memberi wejangan kepada orang yang dalam kesusahan. Mereka akan selalu memotivasi orang lain untuk menghormati dan melindungi Sutra dan pratima Buddha. Mereka akan melakukan hal yang bermanfaat, tegas dan baik hati dan tidak pernah mencelakakan orang lain. Mereka akan mengorbankan jasmaninya untuk keselamatan makhluk hidup. Mereka tidak akan memperdulikan keadaannya sendiri tetapi akan sabar, mengalah, manusiawi dan damai. “Jika orang seperti ini ada, gerombolan bhiksu jahat akan iri hati. Yang jahat akan mengejek, memfitnah dan mencemarkan nama baik mereka, mengusir dan merendahkan derajat mereka. Yang jahat akan mengasingkan bhiksu yang baik dari masyarakat biara. Kemudian yang jahat ini tidak akan menanam jalan kebajikan. Vihara dan cetya mereka akan kosong dan tidak terawat. Karena tidak dipelihara, tempat itu lama kelamaan akan menjadi puing reruntuhan dan dilupakan orang. Bhiksu yang jahat hanya haus akan kekayaan dan menimbun harta benda.Mereka akan menolak membagikan kekayaannya satu bagianpun atau menggunakannya untuk memperoleh berkah dan kebajikan. Pada waktu ini, bhiksu jahat akan membeli dan menjual budak untuk bercocok tanam dan membuka hutan gunung dengan cara tebas-bakar. Mereka akan mencelakakan makhluk hidup dan tidak ada rasa belas kasihan sedikit pun. Budak budak ini akan menjadi bhiksu dan pelayan wanita menjadi bhiksuni. Sama sekali tidak berkelakukan baik, mereka akan bertindak sesuka hati dan berkelakuan amoral. Dalam kondisi pikiran yang kacau, mereka tidak akan memisahkan laki-laki dan wanita di masyarakat vihara. Merekalah sumber kemerosotan Dharma. Buronan akan mencari perlindungan di Jalan-Ku, ingin menjadi Sramana tetapi tidak mau mematuhi vinaya(sila). Walaupun Pratimoksa Sila dibacakan dua kali sebulan, tetapi hanya dalam nama saja. Karena mereka malas dan lemah, tidak ada orang yang mau mendengar ajaran lagi. Sramana yang jahat ini tidak akan sudi membacakan seluruh ajaran Sutra melainkan akan meringkas di bagian depan dan di bagian belakang teks sesuka hati. Tidak lama kemudian praktek pembacaan Sutra akan berhenti sama sekali. Sekalipun ada yang membacakan teks, mereka tidak akan berpendidikan, tidak memenuhi syarat, namun bersikeras bahwa merekalah yang benar. Tidak mau bertanya kepada yang paham, bersikap sombong dan angkuh, orang ini cenderung mencari kemasyhuran dan keagungan. Mereka suka berpura-pura dan bergaya alim dengan harapan bisa menarik sumbangan dari orang lain. “Ketika bhiksu jahat ini wafat mereka akan jatuh terlahir ke neraka Avici. Berbuat lima dosa besar(garuka kamma), mereka akan terlahir sebagai hantu kelaparan dan hewan selama berkalpa-kalpa sebanyak jumlah pasir di sungai Gangga. Setelah karma mereka sudah selesai dilaksanakan, mereka akan dilahirkan di tempat terpencil yang tidak ada Triratna. Waktu Dharma akan berakhir, wanita akan menjadi giat dan selalu berbuat kebajikan. Sebaliknya laki-laki akan menjadi malas dan tidak lagi mempraktekkan Dharma. Mereka akan melihat Sramana seperti kotoran hewan dan tidak beriman. Ketika Dharma sudah akan berakhir, semua dewa akan mulai menangis. Sungai-sungai akan menjadi kering dan lima jenis padi tidak akan matang. Penyakit epidemik akan merajarela, jumlah korban banyak sekali. Banyak orang akan bekerja membanting tulang dan menderita sedangkan pejabat daerah akan bersekongkol dan membuat rencana jahat. Tidak ada yang mematuhi peraturan; semuanya hanya bersenang-senang saja. Orang jahat makin banyak, sebanyak pasir di dasar laut. Orang baik susah dicari; paling banyak hanya ada satu atau dua orang saja. Ketika akhir zaman sudah mendekat, revolusi matahari dan bulan menjadi lebih pendek dan umur manusia menjadi lebih pendek. Rambut akan memutih waktu umur empat puluh. Disebabkan kelakukan tidak bermoral yang sudah berlebihan, laki-laki menghabiskan spermanya sehingga wafat di waktu umur muda, biasanya sebelum enam puluh tahun. Walau umur laki-laki turun, umur wanita akan naik menjadi tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun. Sungai-sungai besar akan bergolak melawan siklus alam sehingga tidak harmonis, namun manusia tidak perduli memperhatikannya dan tidak merasa khawatir. Iklim yang berfluktuasi secara ekstrim akan segera dianggap biasa. Manusia dari semua ras akan bercampur aduk secara sembarangan, tanpa perduli terhadap yang baik maupun jahat. Mereka akan timbul tenggelam seperti makhluk yang diberi makanan di air. Saat itu, ada Bodhisattva, Pratyekabuddha, dan Arhat, karena diusir para Mara, tak dapat menghadiri pertemuan umat. Ketiga yana(kereta) terpaksa hengkang ke gunung, tempat dimana kebajikan akan bersemayam. Mereka bahagia dalam hidup yang sederhana, usia mereka pun menjadi panjang. Dewa akan melindungi dan bulan akan menyinari mereka. Tiga Yana(kereta) akan mempunyai kesempatan untuk berkumpul dan Jalan Kebenaran akan berkembang walaupun sebentar. Namun dalam kurun waktu lima puluh dua tahun, Sutra Suranggama dan Sutra Pratyutpanna-buddha-sammukhavasthita-samadi akan lenyap terlebih dahulu. Dua belas divisi dari ajaran Buddha akan berangsur-angsur ikut hilang, takkan pernah muncul lagi. Kata-kata dan kitabnya tidak akan ditemukan selamanya. Jubah Sramana akan berubah warna menjadi putih. Ketika DharmaKu musnah, polanya diibaratkan seperti lampu minyak yang menyala sangat terang sesaat sebelum padam. Demikian juga Dharma Saya akan seperti padamnya lampu tersebut. Setelah itu susah dikatakan dengan pasti apa yang akan terjadi berikutnya.” “Jadi ini akan berlanjut sampai beberapa puluh juta tahun kemudian. Saat Maitreya akan lahir di dunia untuk menjadi Buddha yang berikut, segenap bumi ini akan damai. Hawa jahat pun menghilang, hujan akan turun teratur, panen akan berlimpah. Pohon akan tumbuh sangat tinggi dan manusia akan tumbuh setinggi delapan puluh kaki (24 meter). Umur rata-rata akan menjadi 84.000 tahun. Makhluk hidup yang terbebaskan tak terhitung jumlahnya.” Ananda bertanya kepada Buddha, “Apa yang kita sebutkan untuk Sutra ini dan bagaimanakah kita akan menegakkannya?” Buddha berkata, “Ananda, Sutra ini disebut Sutra Kelenyapan Dharma. Beritahu semua orang agar menjadi maklum; berkah dari perbuatanmu tak akan terhitung.” Setelah mendengar penjelasan Buddha tentang Sutra ini, keempat golongan siswa menjadi sedih dan menangis. Mereka semua bertekad mencapai kesucian menyelami kebenaran. Setelah bersujud kepada Buddha ,mereka kembali ke tempat masing-masing.

Perhatian !!!! khusunya utk Para Oknum Pengguna Account FB palsu

Pasal 27 ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Setiap org dengan sengaja dan tanpa hak, mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik memiliki muatan yang kesusilaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 6 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,-

Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat (1)

Setiap org dengan sengaja dan tanpa hak, mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,-

JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN (Ariya Atthangiko Magga)

JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN
(Ariya Atthangiko Magga)

Dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420}, Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga).

Di dalam Jalan ini mengandung unsur sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan). Berikut pengelompokan unsur yang terkandung di dalamnya:

Pañña
1. Pengertian Benar (sammâ-ditthi)
2. Pikiran Benar (sammâ-sankappa)

Sila
3. Ucapan Benar (sammâ-väcä)
4. Perbuatan Benar (sammâ-kammanta)
5. Pencaharian Benar (sammâ-ajiva)

Samâdhi
6. Daya-upaya Benar (sammâ-vâyama)
7. Perhatian Benar (sammâ-sati)
8. Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi)

Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga) dibabarkan sebagai berikut:

1. Pengertian Benar (Sammã Ditthi)
Pemahaman Benar adalah pengetahuan yang disertai dengan penembusan terhadap
a. Empat Kesunyataan Mulia
b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
c. Hukum Paticca-Samuppäda
d. Hukum Kamma

2. Pikiran Benar (Sammã Sankappa)
Pikiran Benar adalah pikiran yang bebas dari:
a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa).
b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)

3. Ucapan Benar (Sammã Vãca)
Ucapan Benar adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar/caci maki (pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat/pergunjingan (samphappalãpã). Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :
a. Ucapan itu benar
b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada waktunya

4. Perbuatan Benar (Sammã Kammantã)
Perbuatan Benar adalah berusaha menahan diri dari pembunuhan, pencurian, perbuatan melakukan perbuatan seksualitas yang tidak dibenarkan (asusila), perkataan tidak benar, dan penggunaan cairan atau obat-obatan yang menimbulkan ketagihan dan melemahkan kesadaran.

5. Penghidupan Benar (Sammã Ãjiva)
Penghidupan Benar berarti menghindarkan diri dari bermata pencaharian yang menyebabkan kerugian atau penderitaan makhluk lain. “Terdapat lima objek perdagangan yang seharusnya dihindari (Anguttara Nikaya, III, 153), yaitu:

a. makhluk hidup
b. senjata
c. daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup
d. minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan,
e. racun

Dan terdapat pula lima pencaharian salah yang harus dihindari (Majjima Nikaya. 117), yaitu:

a. Penipuan
b. Ketidak-setiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)

6. Usaha Benar (Sammã Vãyama)
Usaha Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu: berusaha mencegah munculnya kejahatan baru, berusaha menghancurkan kejahatan yang sudah ada, berusaha mengembangkan kebaikan yang belum muncul, berusaha memajukan kebaikan yang telah ada.

7. Perhatian Benar (Sammã Sati)
Perhatian Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu:

– perhatian penuh terhadap badan jasmani (kãyãnupassanã)
– perhatian penuh terhadap perasaan (vedanãnupassanã)
– perhatian penuh terhadap pikiran (cittanupassanã)
– perhatian penuh terhadap mental/batin (dhammanupassanã)

Keempat bentuk tindakan tersebut bisa disebut sebagai Vipassanã Bhãvanã.

8. Konsentrasi Benar (Sammã Samãdhi)
Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran pada obyek yang tepat sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Cara ini disebut dengan Samatha Bhãvanã. Tingkatan-tingkatan konsentrasi dalam pemusatan pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam empat proses pencapaian Jhana, yaitu:

– Bebas dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam Jhãna pertama, di mana vitakka (penempatan pikiran pada objek) dan vicãra (mempertahankan pikiran pada objek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran dan kesenagan (piti dan sukha).

– Dengan menghilangkan vitakka dan vicara, ia memasuki dan berdiam dalam Jhãna kedua, yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicãra, memiliki kegiuran (piti) dan kesenangan (sukha) yang timbul dari konsentrasi.

– Dengan meninggalkan kegiuran, ia berdiam dalam ketenangan, penuh perhatian dan sadar, dan merasakan tubuhnya dalam keadaan senang. Dia masuk dan berdiam dalam Jhãna ketiga.

– Dengan meninggalkan kesenangan dan kesedihan, dia memasuki dan berdiam dalam Jhãna keempat, keadaan yang benar-benar tenang dan penuh kesadaran di mana kesenangan dan kesedihan tidak dapat muncul dalam dirinya.

Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh :

1. Sila-visuddhi – Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa (Kekotoran batin).
2. Citta-visuddhi – Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana (Rintangan batin).
3. Ditthi-visuddhi – Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya (Kecenderungan berprasangka).

Demikianlah Jalan Utama Berunsur Delapan yang telah dibabarkan oleh Guru Buddha. Satu-satunya Jalan yang menuju pada akhir Dukkha.

Disusun oleh: Bhagavant.com

Samatha & Vipassanā, serta 4 macam yogi

Dikutip dari http://www.dhammadownload.com/Saddhammaramsi-English.htm
5. 3-1-2003 8pm
Four Characteristic Qualities of a Stream Winner
by Sayādaw U Kundalābhivamsa

Dalam latihan samatha, objek pengamatan dan pencatatan adalah konsep (paññatti) dan mencondongkan pikiran pada objek sebagai sesuatu yang kekal. Bagi mereka yang mengamati dan mencatat objek berupa kasina tanah (pathavi kasina), pertama-tama dia harus membuat lingkaran kecil dari tanah, sebesar piring kecil, letakan di hadapannya dan lihat dengan penuh perhatian. Yogi harus melihatnya tanpa pernah menutup matanya dan catat sebagai ‘tanah, tanah (pathavi)’ sampai gambaran yang mantap (permanen) muncul di pikirannya. Yogi harus mengamati dan mencatat objek sehingga pikirannya tidak mengembara dan mencatatnya dari segi kekekalan, sehingga gambaran dari objek akan tergambar di pikiran yogi setiap saat.

Saat konsentrasi yogi telah cukup terbina, yogi akan mencapai suatu keadaan yang disebut uggaha-nimitta (gambaran yang tercapai), di mana yogi dapat melihat gambaran kasina tanah tersebut walaupun dengan mata tertutup. Bukankah hal itu menjadi permanen? (Ya, benar, bhante). Ketika yogi melanjutkan latihannya dengan cara ini dan mencapai patbhāga-nimitta (gambaran yang dapat dikendalikan), akan muncul gambaran yang berbeda, bahkan lebih terang dan jelas dari aslinya yang dilihat dengan mata terbuka. Karena yogi telah mengamati dan mencatatnya sebagai permanen, objek itu menjadi permanen di pikirannya. Bukankah begitu? (ya, seperti itu, bhante). Objek pengamatan di sini, kasina tanah, adalah konsep (paññatti) dan cara pengamatan dan pencatatanya juga sebagai permanen. Kalian sebut apa latihan ini? Ini disebut samatha.

Karena yogi di sini adalah vipassanā yogi, ingin berlatih vipassanā murni, bukankah lebih baik untuk kalian mengetahuai sifat alami dari samatha? (Ya, lebih baik, bhante). Kalian juga dapat jelaskan hal ini ke yang lain dan akan memberi manfaat bagi sāsana (ajaran Sang Buddha). Jika ada yang bertanya, ”Saya ingain berlatih vipassanā murni, tolong jelaskan ke saya bagaimana caranya, secara singkat.” Tahukan kalian bagaimana memberitahukannya? (Ya, kami tahu, bhante). Jika kalian dapat memberitahukan mereka, itu akan bermanfaat bagi sāsana juga.

Dapatkah kalian memebritahukan mereka bahwa yogi “Harus memberikan perhatian yang penuh untuk mengetahui kenyataan (paramattha) dan juga mencondongkan pikirannya pada berakhirnya (vaya) fenomena dan mengetahui sifat ketidakkekalan?” (Ya, kami dapat, bhante). Kalian harus menjelaskan seperti ini. Ini adalah vipassanā murni. Ketika kalian berlatih juga, tidakkah kalian harus mengamati dan mencatat dengan cara ini sehingga dapat meliputi semua pokok bahasan ini? (ya, kami harus, bhante). Ini adalah cara mengamati dan mencatat ketika kalian berlatih vipassanā murni.

Sebaliknya, ketika mengamati dan mencatat ”angkat, dorong, turun,” jika perhatian kalian tertuju pada bentuk dan figure kaki, artinya pendekatan cara pengamatan dan pencatatannya adalah pada kekekalan dari bentuk kaki. Apakah yogi konsentrasi pada kekekalan atau ketidakkekalan dari kaki? (kekekalan, bhante). Apakah artinya dari pengamatan dan pencatatan pada kekekalan ini? (Itu artinya samatha, bhante). Ya, itu adalah samatha. Pengamatan dan pencatatan telah menjadi samatha ketika berlatih vipassanā. Apakah ini akan membawa manfaat bagi kalian? (Tidak, tidak akan, bhante). Yogi tidak akan dapat merealisasi dhamma untuk jangka waktu yang lama.

Yogi akan sering melapor bahwa pengamatan dan pencatatannya ketika meditasi jalan sangatlah baik. Dapatkah seseorang mengatakan bahwa ia mengalami kemajuan yang baik dalam dhamma karena pengamatan dan pencatatannya tampak baik? (Tidak, dia tidak bisa, bhante). Ya, kalian tidak dapat katakan demikian. Guru meditasi akan mengetahui hal ini. Dapatkah kita katakan bahwa seseorang mengalamai kemajuan dalam latihan dan dhamma-nya jika dia melapor bahwa dhamma-nya cukup baik; pengamatan dan pencatatannya cukup baik? (Tidak, kita tidak bisa, bhante). Ya, kita tidak dapat katakan demikian.

Mereka yang latihannya condong ke samatha (dalam latihan vipassanā) dan merasa baik dalam latihannya, akan memakan waktu yang lama untuk mencapai kemajuan. Apakah para pendengar dhamma di sini ingin memakan waktu yang lama untuk memperoleh kemajuan? (Tidak, kami tidak mau, bhante). Jika kalian tidak mau lama dalam memperoleh kemajuan, kalian harus menjauhkan (tidak berhubungan) semaksimal mungkin dengan bentuk dan figure (paññatti), berfokuslah dengan baik dan sungguh-sungguh untuk mengetahui kenyataan (paramattha).

Semboyan: Mengamati dan mencatat pada objek berupa (paññatti), dan menganggapnya sebagai permanen (kekal) adalah samatha.

Itu artinya perhatian atau fokus pada bentuk dan figure dari kaki (paññatti), pengamatan dan pencatatan juga pada bentuk dari kaki saat kaki diangkat, didorong dan diturunkan. Dengan kata lain, seperti menganggap kaki sebagai sesuatu yang permanen. Sehingga, walaupun yogi berlatih vipassanā, ia condong ke samatha. Bukankah demikian? (Ya, benar, bhante). Ini adalah sesuatu yang yogi harus benar-benar perhatikan.

Pendengar dhamma dan yogi di sini tidak lagi mengamati dan mencatat condong ke samatha. Kalian harus mencoba untuk mengamati dan mencatat dengan tepat dan sungguh-sungguh untuk mengetahui kenyataan semaksimal mungkin. Kalian harus mencoba untuk mengamati dan mencatat dengan tepat dan sungguh-sungguh untuk mengetahui sifat alami dari gerakan ke atas yang bertahap saat kalian mengangkat kaki; gerakan ke depan yang bertahap saat mendorong kaki; gerakan ke bawah yang bertahap saat menurunkan kaki. Bila yogi dapat melakukan hal ini, yogi telah mendapatkan kemajuan yang baik.

Hal ini telah dikatakan oleh beberapa yogi veteran bahwa para yogi di Pusat Latihan Meditasi Saddhammaramsi membuat kemajuan yang cepat dalam dhamma, walaupun pangamatan dan pencatan mereka tampaknya tidak berkesinambungan. Mengapa mereka mendapatkan kemajuan yang pesat? Apakah hal itu dikarenakan pengamatan dan pencatatan mereka benar atau tidak benar? (Karena pengamatan dan pencatatan mereka benar, bhante). Ya, karena pengamatan dan pencatatan mereka benar.

Amati dan catat dengan tepat dan sungguh-sungguh untuk mengetahui kenyataan. Amati dan catat ketidakkekalan, condongkan pikiran pada berakhirnya fenomena. Kemajuan dalam dhamma akan mengikuti ketika yogi dapat mengamati dan mencatat dengan cara ini. Jika yogi dapat tidak behubungan dengan konsep, dapat mengamati dan mencatat kenyataan dengan tepat dan sungguh-sungguh, dapat mencondongkan pikirannya pada berakhirnya fenomena, yogi akan segera mengalami kemajuan yang baik dalam dhamma. Kalian harus mencoba untuk mengamati dan mencatat dengan cara ini. Jika pendengar dhamma di sini dapat mengamati dan mencatat dengan tepat dengan cara ini, kalian juga akan segera mengalami kemajuan yang baik dalam dhamma.

Dikutip dari “Sharpening The Controlling Faculties” by Sayādaw U Kundalābhivamsa
==========================
========================

Empat Macam Yogi

1. Yogi yang dalam latihannya banyak mengalami rasa sakit dan kemajuan dhamma-nya lambat. Hal ini diakibatkan dikehidupan sebelumnya yogi tidak berlatih baik samatha maupun vipassanā.
2. Yogi yang dalam latihannya banyak mengalami rasa sakit dan kemajuan dhamma-nya cepat. Hal ini diakibatkan dikehidupan sebelumnya yogi tidak berlatih samatha dan tapi berlatih vipassanā.
3. Yogi yang dalam latihannya banyak mengalami rasa senang dan kemajuan dhamma-nya lambat. Hal ini diakibatkan dikehidupan sebelumnya yogi berlatih samatha tapi tidak berlatih vipassanā.
4. Yogi yang dalam latihannya banyak mengalami rasa senang dan kemajuan dhamma-nya cepat. Hal ini diakibatkan dikehidupan sebelumnya yogi berlatih samatha dan vipassanā.

Yogi biasanya tentu saja memilih yang no. 4, tapi hal itu sayangnya tidak bisa dipilih. Walaupun demikian, keempat yogi dapat merealisasi dhamma mulia bila berlatih dengan rajin dan penuh semangat.

Dikutip dari http://www.dhammadownload.com/Saddhammaramsi-English.htm
5. 3-1-2003 8pm
Four Characteristic Qualities of a Stream Winner
by Sayādaw U Kundalābhivamsa
Editor U Sikkhananda Andi Kusnadi

Semoga setelah membaca atau mendengar hal ini, anda tertarik untuk mendalami dhamma. Bagi yang telah mendapatkan pengalaman dhamma semoga semakin meningkat kebijaksanaannya. Bagi yang layak untuk mendapatkan dhamma mulia, semoga merealisasi dhamma mulia dalam kehidupan ini juga.

Metta untuk semua…

MEDITASI VIPASSĀNA DAN EMPAT KESUNYATAAN MULIA OLEH : SAYADAW CHANMYAY

Meditasi Vipassāna & Empat Kesunyataan Mulia

(Diterjemahkan oleh Henny Gunarsa)

(edited version 15/8/06, Daung)

(edited version 17/8/06, Andi Kusnadi)

CERAMAH DI CAMBRIDGE


MEDITASI VIPASSĀNA & EMPAT KESUNYATAAN MULIA

OLEH : SAYADAW CHANMYAY

Kata Pengantar

Minggu sore 11 Juli 2004 di Cambridge, Massachussets, U.S.A. tenggelam dalam cuaca/hawa musim panas yang sejuk. Ini adalah malam yang berbahagia di New England bahwa Yang Mulia Sayadaw Chanmyay dari Birma (Myanmar) menyampaikan Ceramah Dhamma tentang Empat Kesunyataan Mulia. Meskipun banyak godaan di luar, Aula Meditasi di Cambridge Insight Meditation Centre (CIMC) penuh sesak. Para hadirin disajikan sebuah ceramah yang mendalam dan jelas mengenai kotbah pertama Sang Buddha.

Dhammacakkappavatana Sutta, dimana Sang Buddha membabarkan Empat Kesunyataan Mulia, mungkin merupakan salah satu uraian yang paling indah yang pernah ada mengenai kondisi makhluk. Di dalam uraian yang jelas dan sederhana ini disampaikan Kebenaran yang tak terbantahkan. Berisi sebuah pernyataan yang ringkas tentang penderitaan yang dihadapi oleh manusia dan semua makhluk. Sebab dan akibat dari kondisi ini telah ditunjukkan dalam arti yang sejelasnya (tidak mendua arti). Solusi atau jalan keluar dari kesulitan hidup dijabarkan dengan jelas. Dan akhirnya, hasil yang luhur dan manfaat dari mengikuti jalan ini dijelaskan secara sederhana dan mudah dimengerti. Sutta ini, seperti beberapa penjelasan mengenai kelemahan manusia dalam Sutta yang lain, dapat mematahkan pandangan sempit, rasional, intuisi dan penyelidikan kritis.

Sayadaw Chanmyay mengkombinasikan tingkatan akademik Doktor dalam Kitab Suci Buddha dengan pemahaman yang sebenarnya sebagai hasil dari pengalaman sendiri seperti yang diajarkan Beliau. Beliau memiliki bakat untuk membuat ajaran Sang Buddha jadi mudah dimengerti, berguna dan menggetarkan kalbu. Bakat yang langka ini dapat dirasakan dalam bentuk terbaiknya sepanjang ceramah beliau.

Sayadaw menerangkan segi kepraktisan (dapat dipraktekkan) yang ditawarkan Sang Buddha pada kotbahnya yang pertama dan sangat mendasar itu pada mereka yang mencari kebebasan. Salah satu nuansa baik dari Sutta ini adalah fungsi ganda dari pesan tersebut. Yaitu disamping dapat dibaca sebagai panduan moral untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang terhormat dan mulia, juga bisa dipergunakan sebagai sebuah petunjuk jalan yang jelas untuk para meditator yang mendambakan kebebasan Nibbana. Yang disebut pertama seharusnya pada saatnya menjadi pondasi bagi munculnya yang disebut belakangan.

Dengan mempertimbangkan banyak praktisi meditasi yang hadir, Sayadaw menyesuaikan ceramah beliau untuk menerangkan mengapa Sang Buddha sampai mengkotbahkan Sutta tersebut. Hal itu sebagai panduan bagi jalur meditasi menuju dan memungkinkan tercapainya kebijaksanaan di atas duniawi tentang Kesunyataan Mulia yang ketiga (Nirodha Sacca).

Sayadaw menerangkan bagaimana Kesunyataan Mulia, secara berurutan, harus dipahami, ditinggalkan, dialami atau dikembangkan dalam konteks praktek meditasi Vipassāna. Hal tersebut menjadi jelas selama diskusi bahwa Sayadaw tidak berbicara mengenai sejenis perubahan yang berdasarkan kepercayaan akan sesuatu yang jauh di awang awang. Dengan jelas, beliau mengungkapkan segi praktek dan metode, kemajuan langkah demi langkah dalam mendalami kebijaksanaan dan pandangan terang yang menuju ke kebebasan.

Mungkin ini menjadi aspek yang paling menarik dan disukai dari Ajaran Buddha. Ternyata kebebasan dan lepas dari beban kehidupan yang tiada putusnya adalah hal yang sangat mungkin dicapai. Hal yang paling membebankan adalah bahwa sayangnya kita semua, pada tingkatan tertentu dalam keberadaan kita, percaya bahwa tidak ada jalan keluar dari beban eksistensi itu.

Kata-kata Sayadaw tidak dapat menolong tetapi memberi inspirasi bagi para pendengar atau pembaca terlepas dari tingkat pemahaman maupun latihan mereka. Ada sebuah Jalan yang nyata. Dengan usaha yang tekun; dalam waktu singkat akan didapat manfaat yang terus meningkat..

Semoga kalian semua dapat menikmati buah dan berkah yang mulia dari Ajaran Buddha dalam era Sasana Buddha ini juga.

Y.M. Ashin Vamsarakkhita

(Siswa dan Pengikut)

Meditasi Vipassāna dan Empat Kesunyataan Mulia

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Kami sangat senang bertemu kalian semua yang telah menaruh perhatian pada meditasi Vipassāna. Meditasi ini didasarkan pada Empat Kesunyataan Mulia, yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam kotbah pertama Beliau, Dhammacakkappavatana Sutta “Kotbah Pemutaran Roda Dhamma”. Semua Ajaran Sang Buddha berdasarkan pada Empat Kesunyataan Mulia. Maka meditasi pandangan terang, meditasi Vipassāna atau meditasi perhatian murni – mempunyai dasar dalam Empat Kesunyataan Mulia. Empat Kesunyataan Mulia, seperti yang kalian ketahui adalah :

Dukkhasacca, Kesunyataan mengenai Dukkha / penderitaan

Samudayasacca, Kesunyataan mengenai asal mula Dukkha

Nirodhasacca, Kesunyataan mengenai lenyapnya Dukkha

Maggasacca, Kesunyataan mengenai Jalan menuju lenyapnya Dukkha (akhir)

Saya percaya kalian memiliki pengetahuan yang baik mengenai Empat Kesunyataan Mulia ini.

Dalam kotbah pertama Beliau, Sang Buddha mengutarakan Dukkhasacca, Kesunyataan mengenai Dukkha, sebagai parinneya, kesunyataan yang harus sungguh-sungguh disadari / dipahami. Samudayasacca, Kesunyataan asal mula Dukkha, sebagai pahatabba, kesunyataan yang harus seluruhnya ditinggalkan. Nirodhasacca, kesunyataan mengenai lenyapnya Dukkha, sebagai sacchikatabba, kesunyataan yang harus dirasakan / dialami. Maggasacca, kesunyataan mengenai Jalan menuju lenyapnya Dukkha, sebagai bhavetabba, kesunyataan yang harus sepenuhnya dikembangkan. Kesunyataan mengenai Dukkha mengacu pada fenomena mental dan jasmani (Nama dan Rupa dalam bahasa Pali). Kesunyataan mengenai asal-mula Dukkha mengacu pada hawa nafsu, atau Tanha dalam bahasa Pali. Kesunyataan mengenai Lenyapnya Dukkha, mengacu pada Nibbana. Kesunyataan mengenai Jalan menuju lenyapnya Dukkha mengacu pada Jalan Mulia Beruas Delapan.

Dukkhasacca

Dukkhasacca adalah Nama dan Rupa, fenomena mental dan jasmani. Nama (mental) dan Rupa (jasmani) keduanya muncul tergantung pada kondisi masing-masing, maka dari itu disebut mental yang terkondisi dan jasmani yang terkondisi. Sebagai contoh, dalam kesadaran melihat; ketika anda melihat sesuatu yang dapat dilihat, kesadaran melihat muncul. Hal ini muncul tergantung pada empat kondisi; mata, objek bentuk, cahaya dan perhatian (Manisikara dalam bahasa Pali). Empat kondisi ini menyebabkan kesadaran melihat muncul.

Semua kondisi tersebut harus ada agar dapat melihat apapun. Walaupun anda mempunyai mata, dan mata melakukan kontak dengan objek bentuk – bila tidak ada cahaya, anda tidak dapat melihat. Kesadaran melihat tidak akan muncul. Bila anda mempunyai mata, terjadi kontak mata, objek bentuk, dan cahaya, tapi tidak ada perhatian pada objek atau benda yang dapat dilihat, anda tidak akan melihat objek tersebut. Kesadaran melihat hanya akan muncul bila ada perhatian.

Karena kesadaran melihat mempunyai empat kondisi, ini disebut terkondisi / keadaan bersyarat. Dalam bahasa Pali, sesuatu yang terkondisi disebut Sankhata. Semua kesadaran terkondisi, demikian juga semua fenomena mental dan jasmani lainnya. Mereka muncul tergantung pada kondisi mereka.

Tetapi, Lenyapnya Dukkha, Nibbana, tidak terkondisi karena Nibbana tidak muncul maupun tergantung pada kondisi apapun. Sehingga tidak ada kondisi ataupun sebab dari lenyapnya Dukkha, Nibbana tidak terkondisi. Yang tidak terkondisi disebut Asankhata, sementara yang terkondisi disebut Sankhata.

Seperti dalam contoh kita, kesadaran melihat muncul tergantung pada mata, objek bentuk, cahaya dan perhatian. Ini muncul dan kemudian berlalu. Mengapa berlalu? Karena muncul. Semua hal yang terkondisi – Sankhata – mempunyai sifat muncul dan berlalu sehingga memiliki ciri ciri atau sifat sementara / tidak kekal (Anicca).

Sedangkan Lenyapnya Dukkha, Nibbana adalah tak terkondisi, selalu ada. Karena Nibbana tidak muncul dan tidak berlalu. Sehingga lenyapnya Dukkha, Nibbana, tidak bersifat sementara. Karena tidak terkondisi dan tidak muncul tergantung pada kondisi – tidak ada penyebab kondisi. Maka lenyapnya Dukkha, Nibbana disebut Akarana dalam bahasa Pali. ‘Karana’ berarti sebuah kondisi; ‘a’ berarti tidak, jadi Akarana berarti tidak terkondisi.

Ketika anda dapat memadamkan semua fenomena mental / jasmani, dimana fenomena tersebut terkondisi, maka lenyapnya Dukkha dialami. Lenyapnya Dukkha berdiri sendiri. Ia memang sudah ada di sana. Nibbana tidak muncul sehingga tidak berlalu, bersifat permanen. Nibbana disebut Akarana dan Asankhata, karena tidak memiliki kondisi.

Sang Buddha bersabda pada kotbah-Nya yang pertama, Dukkhasacca (yaitu fenomena mental / jasmani) kesunyataan mengenai Dukkha adalah Parinneya. Ini adalah kesunyataan yang harus sungguh-sungguh dipahami / disadari (Parinneya). Semua fenomena mental dan fenomena jasmani muncul kemudian berlalu. Mereka tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan, Dukkha. Itu sebabnya Sang Buddha bersabda Nama dan Rupa, fenomena mental dan jasmani, keduanya adalah penderitaan, kesunyatan mengenai Dukkha. Hal ini harus benar-benar dipahami dan disadari.

Tiga Jenis Dukkha

Di sini kami harus menjelaskan secara singkat tiga jenis dukkha, penderitaan, menurut Abhidhamma Buddha.

Pertama adalah Dukkha Dukkha

Kedua adalah Viparinama Dukkha

Ketiga adalah Sankhara Dukkha

Dukkha Dukkha adalah penderitaan yang paling umum. Contohnya: sakit, badan kaku, gatal, mati rasa, segala macam penyakit atau penderitaan jasmani. Yang lainnya seperti murung, sedih, berduka, cemas atau semua penderitaan mental. Penderitaan tersebut sangat menonjol dan umum dialami semua makhluk. Sehingga mereka disebut Dukkha Dukkha, penderitaan dari penderitaan.

Jenis yang kedua adalah Viparinama Dukkha (penderitaan dari perubahan). Sang Buddha memandang kebahagiaan sebagai Viparinama Dukkha karena tidak berlangsung lama. Kebahagiaan muncul dan kemudian berlalu berubah menjadi kesedihan dan penderitaan. Karena sifat alaminya yang berubah menjadi penderitaan inilah Sang Buddha berkata bahwa kebahagiaan adalah Viparinama Dukkha. Perubahan ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau sangat cepat.

Jenis yang ketiga adalah Sankhara Dukkha. Sankhara Dukkha dalam hal ini, mempunyai arti atau pengertian yang sama seperti Sankhata. Yaitu sesuatu yang muncul karena suatu kondisi atau sebab, maka semua fenomena mental dan jasmani adalah Sankhata dan Sankhara. Mereka adalah akibat dari sebab mereka, kondisi mereka. Mereka muncul dan dengan sangat cepat berlalu dan sangat tidak memuaskan. Mengapa mereka berlalu? Sekali lagi hal ini karena mereka muncul, dan oleh karena itu harus berlalu. Penderitaan yang disebabkan oleh fenomena muncul dan lenyap yang terus-menerus, Sankhara Dukkha, adalah hal biasa pada semua yang terkondisi.

Maka Nama dan Rupa, fenomena mental dan jasmani, yang merupakan sesuatu yang terkondisi, adalah Dukkhasacca. Kesunyataan mengenai Dukkha ini harus sepenuhnya dipahami oleh seorang meditator yang ingin melenyapkan penderitaan.

Dua jenis penderitaan, Dukkha Dukkha dan Viparinama Dukkha, dapat dialami dan dipahami oleh kita dalam kehidupan sehari-hari walau tanpa berlatih meditasi. Tetapi, kecuali kita berlatih meditasi Vipassāna, meditasi perhatian murni, kita tidak akan mampu memahami sepenuhnya Sankhara Dukkha, penderitaan dari fenomena muncul dan lenyap. Sankhara Dukkha sangat dalam, terlalu dalam untuk dipahami melalui teori ilmu pengetahuan atau analisa. Hanya dengan pengetahuan langsung yang timbul dari praktek dan pengalaman Dhamma, yang diperoleh lewat meditasi Vipassāna, barulah kita mampu memahaminya sebagai penderitaan dari fenomena muncul dan lenyap. Sang Buddha berkata, “Seseorang yang ingin mencapai lenyapnya Dukkha, Nibbana, harus mengerti dengan benar dan memahami sifat alami fenomena mental dan jasmani (Nama dan Rupa)”.

Inilah sebabnya kita melatih meditasi perhatian murni. Tujuan utama meditasi Vipassāna adalah memahami ketidakkekalan atau muncul dan berlalunya fenomena mental dan jasmani, Sankhara Dukkha. Ketika kita tidak mampu memahaminya, kita dengan salah menganggap fenomena ini bersifat kekal. Berdasarkan keyakinan ini bahwa mental dan jasmani bersifat kekal, kita memelihara konsep “Aku” atau “Kamu”, seseorang atau makhluk, diri sendiri atau roh. Karena kita tidak memahami dengan benar sifat sesungguhnya dari muncul dan lenyapnya fenomena mental dan jasmani, maka kita menganggapnya sebagai orang, mahluk, diri, dan sebagainya.

Ketika kita melekat kepada konsep seseorang, mahluk, karena ketidaktahuan mengenai sifat sesungguhnya dari proses jasmani dan mental, lalu kita mengembangkan hasrat atau keinginan untuk memperoleh sesuatu. Kita mungkin ingin menjadi seorang perdana menteri, seorang presiden atau orang kaya. Hasrat ini timbul karena kosep bahwa ada seseorang, diri atau roh. Hasrat / keserakahan ini menyebabkan banyak penderitaan. Ketika seseorang mempunyai hasrat untuk menjadi presiden, seseorang harus berjuang untuk mendapatkannya dengan segala cara. Maka timbullah penderitaan. Ketika seseorang menjadi presiden, timbul lebih banyak penderitaan. Sekarang, ada lebih banyak masalah yang harus dihadapi orang tersebut.

Samudayasacca

Dalam hal ini, hasrat / keinginan dan keserakahan untuk menjadi presiden adalah penyebab penderitaan. Sama halnya, ketika seseorang mempunyai keinginan lainnya – mempunyai rumah mewah, mobil bagus, atau paras cantik – seseorang harus berusaha mendapatkannya dengan berbagai macam cara yang baik maupun tidak baik. Lagi, timbullah penderitaan. Singkatnya, keinginan, hasrat dan keserakahan adalah penyebab penderitaan. Mereka disebut Samudayasacca dalam bahasa Pali, kesunyataan mulia mengenai asal-mula penderitaan.

Samudayasacca ini timbul karena ketidaktahuan tentang Dukkhasacca, sifat sesungguhnya dari nama dan rupa. Ketika seseorang tidak mampu menyadari / memahami sepenuhnya sifat sesungguhnya fenomena mental dan jasmani, Dukkhasacca, seseorang pastilah memiliki banyak keadaan mental yang negatif (Kilesa). Contohnya adalah keinginan, hawa nafsu, hasrat, keserakahan, kemarahan, kebencian, kesombongan dan sebagainya. Menurut Sang Buddha, ketika seseorang memiliki Tanha dalam pikirannya, penderitaan pasti akan mengikuti. Kata ‘Tanha’ dalam bahasa Pali mengacu dalam bahasa Indonesia sebagai keserakahan, keinginan, hasrat, kemelekatan, dan sebagainya.

Tanha adalah Samudayasacca, kesunyataan mulia tentang asal-mula penderitaan. Ini timbul karena ketidaktahuan mengenai Dukkhasacca, fenomena mental dan jasmani. Ketika seseorang memahami dengan benar sifat sesungguhnya Dukkhasacca, seseorang mampu menyingkirkan konsep tentang adanya orang, mahluk, diri atau roh. Jadi dengan hilangnya konsep tentang adanya diri pribadi, keinginan, keserakahan, hasrat atau Kilesa lainnya tidak akan timbul. Seseorang yang telah meninggalkan Samudayasacca, maka penderitaan pergi; penderitaan berhenti muncul.

Dalam mengalami lenyapnya penderitaan / Dukkha, seseorang memahami secara langsung Nirodhasacca, Nibbana. Untuk mengalami lenyapnya penderitaan / Dukkha, Samudayasacca (yaitu Tanha, hawa nafsu atau keinginan) perlu dibasmi dan dimusnahkan sampai ke akarnya. Dengan membasmi Tanha, asal-mula penderitaan, penderitaan itu sendiri, akibat dari penderitaan, tidak akan timbul sama sekali. Ketika tidak ada sebab, maka tidak ada akibat. Seseorang kemudian akan memahami berdasarkan pengalamannya kesunyataan lenyapnya penderitaan, Nirodhasacca, Kebenaran yang harus dialami.

Seperti yang Sang Buddha sabdakan dalam kotbah-Nya yang pertama, Samudayasacca adalah Pahatabba. Ini adalah kesunyataan yang harus dihilangkan atau ditinggalkan sepenuhnya. Dalam melenyapkan Tanha sepenuhnya, seseorang mampu mengalami lenyapnya penderitaan / Dukkha karena penyebabnya telah dihancurkan seluruhnya. Maka dari itu tidak ada sama sekali hasil atau akibat yang akan timbul.

Nirodhasacca

Sang Buddha menyebutkan Nibbana, Nirodhasacca sebagai Sacchikatabba. Kata ini berarti kesunyataan mulia tentang lenyapnya penderitaan, yang harus dialami. Ketika hal ini terjadi, seseorang mengalami hidup damai dan bahagia. Untuk mengalami lenyapnya derita, Nibbana, Nirodhasacca, seseorang harus membasmi Tanha seluruhnya sampai akarnya, Samudayasacca. Untuk mencapainya, seseorang harus memahami dengan benar dan menyadari Dukkhasacca sepenuhnya, kesunyataan mengenai penderitaan dari fenomena mental dan jasmani.

Lalu, bagaimana seseorang mencapai hal ini? Untuk memahami dengan benar fenomena mental dan jasmani, hal ini harus diamati dan dilihat pada saat proses tersebut berlangsung sebagaimana adanya. Hanya ketika memahami kedua proses ini sebagaimana adanya, maka sifat sesungguhnya dan pemahaman benar akan dapat direalisasi. Kewaspadaan dan perhatian penuh pada segala hal yang timbul dalam proses jasmani dan mental adalah sangat penting.

Bila seseorang mampu mengembangkan kewaspadaan ini, secara bertahap perhatian penuh akan berlangsung terus-menerus, konstan, tajam dan kuat. Hal ini menyebabkan pikiran terkonsentrasi secara mendalam pada semua kondisi mental ataupun pada proses jasmani. Perhatian penuh yang konstan dan terus-menerus adalah penyebab konsentrasi yang dalam. Ketika pikiran terkonsentrasi secara mendalam pada semua yang diamati, pandangan terang (Vipassāna-nana) akan timbul. Nana ini menyadari dan memahami dengan benar sifat sesungguhnya dari kondisi mental dan proses jasmani yang diamati.

Ketika kebijaksanaan menyadari sifat sesungguhnya dari fenomena mental dan jasmani, kemelekatan terhadap mental dan jasmani padam. Keinginan atau keserakahan terhadap fenomena mental dan jasmani juga tidak muncul. Tanha dibasmi sampai ke akarnya dengan memahami secara benar sifat sesungguhnya ini. Seseorang kemudian akan mengalami lenyapnya penderitaan karena penyebabnya telah dihancurkan.

Itulah sebabnya perhatian penuh terhadap segala sesuatu yang muncul dalam mental dan jasmani kita pada saat sedang berlangsungnya adalah penting. Hal ini sesuai dengan kotbah pada Maha Satipattana Sutta, Empat Landasan Perhatian Murni seperti yang telah diuraikan oleh Sang Buddha. Dengan mengamati dan waspada pada semua kondisi mental dan proses jasmani, perhatian murni dari Maggasacca, Kebenaran mengenai Jalan menuju lenyapnya penderitaan muncul. Karena perhatian murni inilah, Jalan Mulia Beruas Delapan menjadi berkembang dengan baik.

Maggasacca : Jalan Mulia Beruas Delapan

Seperti yang anda tahu, Maggasacca tidak lain adalah Jalan Mulia Beruas Delapan yang terdiri dari 8 faktor. Faktor-faktor itu adalah Samma Ditthi (pandangan benar), Samma Sankappa (pikiran benar), Samma Vacca (bicara benar), Samma Kammanta (perbuatan benar), Samma Ajiva (penghidupan benar), Samma Vayama (daya upaya benar), Samma Sati (perhatian benar), Samma Samadhi (konsentrasi benar). Kombinasi dari seluruh delapan faktor jalan mulia ini disebut Maggasacca, kesunyataan mengenai Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan. Ini harus dikembangkan sepenuhnya (Bhavetabba).

Maka, anda harus waspada pada apapun yang muncul pada jasmani dan mental anda. Ketika perhatian menjadi konstan, terus-menerus dan mantap, perhatian terkonsentrasi dengan dalam pada objek. Tapi untuk mencapainya, usaha harus dikerahkan. Hanya dengan mengerahkan usaha mental yang kuat, barulah seseorang dapat memperoleh kewaspadaan pada segala sesuatu yang muncul dalam mental dan jasmani. Usaha yang penting itu adalah daya upaya benar (Samma Vayama). Keadaan berperhatian penuh secara berkesinambungan disebut Sammasati. Karena perhatian yang kuat dan konstan, konsentrasi benar (Samma Samadhi) berkembang. Seperti yang anda tahu, tiga faktor ini saling berhubungan sebagai sebab akibat. Daya upaya benar menyebabkan perhatian benar, yang pada gilirannya kemudian menyebabkan timbulnya konsentrasi benar.

Tapi kadang-kadang, pikiran tidak fokus pada objek – entah itu kondisi mental atau proses jasmani, pikiran dapat berkelana atau berpikir tentang hal lain. Lalu salah satu faktor mental, Samma Sankappa (pikiran benar), muncul bersama perhatian benar untuk menjaga pikiran tetap focus pada objek. Dengan cara ini, pikiran dibawa pada konsentrasi yang lebih dalam pada objek yang diamati.

Ada tiga faktor Jalan Mulia lainnya yang memperkuat dan membantu faktor-faktor mental yang disebut di atas, agar dapat melaksanakan fungsi mereka dengan benar. Faktor-faktor itu adalah; Samma vaca (bicara benar), Samma kammanta (perbuatan bnar), Samma ajiva (penghidupan benar). Sebelum memulai meditasi seseorang harus mengambil lima, delapan, sembilan, sepuluh Sila atau 227 aturan Vinaya untuk para bhikkhu. Dengan menjalankan Sila, seseorang menahan diri dari perbuatan buruk (Samma Kammanta) atau pun pembicaraan tidak benar (Samma Vaca) dan pencaharian yang tidak benar (Samma Ajiva). Dengan menjalankan Sila sepenuhnya, seseorang terpenuhi oleh ketiga faktor moralitas, Sila.

Karena moralitas termurnikan, pikiran jernih, bebas dari semua rintangan mental, seseorang dapat mengembangkan konsentrasi yang dalam dan merasa bahagia. Kegiuran dan ketenangan dialami. Dengan keadaan pikiran ini, konsentrasi pada objek meditasi manapun dapat menjadi lebih mudah dan dalam. Jadi tiga faktor dari Sila, bicara benar, perbuatan benar, penghidupan benar membantu pikiran untuk fokus dan konsentrasi mendalam pada objek yang sedang diamati. Mereka membentuk pondasi yang penting untuk timbulnya daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar.

Vipassāna Nana : Pengungkapan Dukkha, Anicca dan Anatta

Dengan cara ini, pikiran yang sedang mengamati menjadi lebih terkonsentrasi secara mendalam pada kondisi mental atau proses jasmani. Kemudian munculah pengertian benar (Samma Ditthi), pandangan terang. Ini kita sebut sebagai Vipassāna Nana. Pandangan terang ini menembus dan mengungkapkan sifat sesungguhnya dari fenomena mental dan jasmani – Dukkhasacca. Sifat sesungguhnya ini semua fenomena ini tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak ada pribadi (aku). Tiga karakteristik ini, Anicca (tidak kekal), Dukkha (penderitaan atau tidak memuaskan), dan Anatta (tidak ada roh, tidak ada aku, tidak ada orang), dapat dimengerti secara langsung dan dialami oleh seorang meditator pandangan terang.

Ketika pikiran terkonsentrasi mendalam pada objek apapun dari jasmani ataupun mental, maka akan muncul tingkat-tingkat Vipassāna Nana, pandangan terang. Kemajuan pencapaian kesadaran ini adalah proses pematangan pemahaman benar dari sifat sesungguhnya dari fenomena.

Lalu, meditator menyadari, “Ini hanya sifat alami proses dari mental dan jasmani. Ini bukan seseorang, roh, aku atau diri.” Meditator melenyapkan konsep tentang seseorang, diri, aku, atau roh, yang menjadi penyebab dari semua kekotoran mental (Kilesa). Ketika dia telah sepenuhnya menyingkirkan konsep seseorang, makhluk, diri, roh (Sakaya ditthi atau Atta ditthi dalam bahasa Pali) maka penderitaan tidak akan muncul sama sekali dan akan padam.

Kita melaksanakan dan mengembangkan Jalan Mulia Beruas Delapan, Magga Sacca, dengan selalu waspada terhadap semua kondisi mental dan proses jasmani pada saat berlangsung sebagaimana adanya. Perhatian penuh adalah kuncinya. Karena perhatian penuh / murni itulah kita dapat mengembangkan sepenuhnya Jalan Mulia Berunsur Delapan ini. Kita sampai pada tingkat menyadari dan memahami dengan benar Dukkhasacca, kesunyataan mulia tentang penderitaan. Kita dapat menyingkirkan hawa nafsu / kemelekatan (Tanha) pada Samudaya sacca, kesunyataan mulia tentang asal-mula Dukkha.

Kesimpulan

Seperti yang telah saya katakan terdahulu, setiap ajaran Sang Buddha mesti berdasarkan pada Empat Kesunyataan Mulia. Jalan kebebasan ditemukan dalam Empat Kesunyataan Mulia ini. Perkembangan oleh meditator Maggasacca, meditasi pandangan terang, akan membawa pada pemahaman sepenuhnya atas Dukkhasacca, kesunyataan tentang penderitaan. Pemahaman ini selanjutnya membawa seseorang meninggalkan samudayasacca, kesunyataan tentang asal-mula penderitaan. Ketika tidak ada lagi Samudayasacca, tidak ada asal-mula / penyebab, tidak ada akibat, tidak ada penderitaan. Penderitaan padam. Lalu kita menemukan dan mengalami secara langsung lenyapnya penderitaan, Nirodhasacca, Nibbana untuk diri kita sendiri. Inilah sebabnya para meditator harus memahami dan melaksanakan Empat Kesunyataan Mulia pada praktek meditasi Vipassāna mereka.

Semoga anda semua mampu memahami dengan benar bagaimana anda dapat mencapai dan mengalami lenyapnya penderitaan. Semoga anda dapat berjuang dengan usaha terbaik anda untuk menunaikan tugas mulia tersebut: Tugas mulia dari meditasi pandangan terang akan mengarahkan anda untuk mencapai tujuan akhir Nibbana.

Sadhu, sadhu, sadhu.

C.I.M.C., 11 Juli 2004

Biografi Sayadaw Chanmyay

Sayadaw Chanmyay dilahirkan hari Selasa tanggal 24 Juli 1928 di desa Pyinma, Taungdwingyi, Myanmar. Beliau merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara. Ashin Janaka muda menghabiskan masa kanak-kanak yang bahagia dan dibesarkan dengan baik oleh kedua orang tuanya. Mereka telah mengajarkannya dasar-dasar agama Buddha sejak dini.

Karena ketertarikan yang sangat dalam terhadap Dhamma, beliau belajar dan menjadi sangat cakap pada semua aspek Dhamma dalam kaidah Pali (Tipitaka) khususnya Anguttara Nikaya ketika masih menjadi Samanera.

Tanggal 28 Oktober 1947, Ashin Janaka menerima pentahbisan / Upasampada sebagai Bihkkhu oleh Sangha. Selanjutnya, Ashin Janaka dengan antusias melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi dalam kitab suci agama Buddha dibawah bimbingan beberapa orang Yang Mulia Sayadaw.

Pada saat itu, Beliau dianugerahkan gelar Abhivamsa yang sangat langka oleh Asosiasi Pariyatti Sasana Hita, Mandalay. Untuk dapat menerima gelar kehormatan ini, seseorang harus mampu mendemontrasikan kecakapan tingkat Doktor dalam kitab suci sebelum berusia 27 tahun. Kemudian beliau dikenal sebagai Ashin Janakabhivamsa.

Kemudian terjadilah peristiwa yang sangat baik, Ashin Janakabhivamsa bertemu Yang Mulia Mahasi Sayadaw pada tahun 1953. Dan dengan keberhasilan yang luar biasa, beliau berlatih meditasi secara tekun di Sasana Mahasi Yeikhta dibawah bimbingan langsung Y.M. Mahasi Sayadaw.

Selanjutnya beliau belajar di Ceylon (sekarang Srilanka) di Vihara Mahavissuddharama di Kolombo. Sepulangnya Sayadaw Chanmyay menjadi salah satu dari lima siswa utama dan juga menjadi seorang guru meditasi dibawah Y.M. Sayadaw Mahasi.

Sayadaw menjadi kepala di Vihara miliknya, Pusat Meditasi Yeiktha Chanmyay sejak tahun 1977. Beliau mempunyai pusat pusat meditasi di seluruh Myanmar dan juga dunia. Jadwal beliau yang padat termasuk tur Dhamma di seluruh dunia, menerangkan dan mengajarkan meditasi Vipassāna.

Karena usaha beliau yang tak kenal lelah untuk memperkenalkan Dhamma dan praktek meditasi kepada komunitas dunia, Sayadaw menjadi salah satu pemimpin dan guru agama Buddha yang paling terkemuka dan paling berwenang yang masih hidup saat ini.

Previous Older Entries